Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Poligami: Reinterpretasi Makna secara Sosiologis-Antropologis

15 September 2022   08:24 Diperbarui: 15 September 2022   08:41 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Problem Lanjutan dari Poligami

Poligami secara jelas memang dibolehkan oleh Allah SAW sebagaimana tercantum dalam Surah al-Nis' ayat 3, tetapi dengan syarat keadilan sedangkan keadilan itu sulit atau bahkan tidak akan bisa dicapai manusia karena hakikat dari keadilan adalah kemampuan manusia untuk mendistribusikan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kualitatif (kasih sayang dan cinta) dan kuantitatif (nafkah, tempat tinggal, dan lainnya) secara adil kepada isteri-isterinya.

Sebenarnya, di sinilah letak konsep keadilan ['adlah] yang dikehendaki oleh Surah al-Nis' ayat 3. akan tetapi, para ahli fiqih selalu mendahulukan aspek mubhah [kebolehan] dari pada aspek yang lebih penting, yakni 'adlah (keadilan). 

Seharusnya, aspek 'adlah inilah yang didahulukan atas mubhah. Katakanlah, keadilan baik kuantitatif maupun kualitatif, merupakan prasyarat bagi bolehnya poligami. 

Apabila aspek keadilan sebagai prasyarat utama, mungkin poligami menjadi sulit dilakukan walaupun atas izin syara'. Keadilan yang semata-mata kuantitatif, sebagaimana dirumuskan oleh para ahli fiqih, lebih menguntungkan kepentingan laki-laki dari pada perempuan.

Lebih dari itu, ulama fiqih memahami bilangan dua, tiga, dan empat, dalam Surah al-Nis' ayat 3 tersebut bukan sebagai finalitas (ihdd) yang hanya berlaku pada masa kenabian. 

Padahal, ayat tersebut sangat bersifat sosiologis, historis, dan ekonomis. Sebagaimana telah disinggung di atas, jumlah empat merupakan terobosan yang berani dari Islam sekaligus sebagai koreksi atas tradisi poligami tanpa batas yang berlaku saat itu.

Kemudian dengan mengutip pandangan Jamali Sahrodi, kalau poligami itu memang boleh, dilihat dari perspektif "munsabah yah bi al-yah", yang dibolehkan adalah mengawini janda-janda yang mempunyai anak yatim. 

Jadi, poligami di sini ada unsur karikatifnya. Akan tetapi, dalam realitasnya ayat ini oleh para pemegangnya sering dieksploitasi untuk kepentingan pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun