Pada prinsipnya, secara mendasar tekstual, azas nikah dalam Islam adalah monogami. Karena persyaratan adil yang bersifat kualitatif tampaknya sulit untuk diwujudkan. Dikatakan dalam ujung Q.S. al-Nis/4: 3 bahwa: "Jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka cukuplah satu orang isteri saja". Memang, ketegasan pernyataan ketidakmampuan laki-laki untuk berlaku adil secara tegas dikatakan oleh Allah dalam Q.S. al-Nis/4: 129.Â
Nazarudin Umar mengatakan "Islam membolehkan suami beristeri lebih dari satu dengan syarat harus adil". "Tapi, apakah laki-laki bisa adil? Kata laki-laki 'bisa', tapi kata Tuhan dalam Al-Quran tidak mungkin laki-laki bisa adil", demikian menurut Nazarudin Umar.
Menurut Masjfuk Zuhdi, Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madarat daripada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga yang poligamis. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami.
Kecenderungan praktik poligini, dalam tataran aplikasinya, penyumbang salah satu di antara kekerasan dalam rumah tangga [KDRT]. Penulis katakan "penyumbang salah satu di antara" maksudnya bahwa terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bukan poligini semata-mata penyebabnya melainkan juga ada faktor lain yang turut menyumbangkan KDRT.Â
Realitas menunjukkan bahwa, dalam keluarga monogami bisa terjadi KDRT, dapat terjadi karena faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor lain dalam kehidupan ini.
Monogami diyakini sebagai sebuah prinsip dengan suatu pemahaman ajaran agama secara menyeluruh. Tegasnya, pemahaman keagamaan tidak hanya dipahami secara tekstual namun juga harus dipahami secara kontekstual berdasarkan realitas sosial.Â
Penulis bukan hendak memaksakan pemahaman tertentu namun lebih menawarkan suatu pola pemikiran yang sosiologis.
Mengapa demikian? Jika ditelusuri secara historis, ajaran agama Islam tentang nikah mengalami evolusi---kalau tidak dikatakan---bahkan revolusi. Karena zaman pra-Islam, umat manusia terutama laki-laki bebas memiliki isteri lebih dari satu bahkan ratusan.Â
Namun kemudian setelah datang Islam, laki-laki tidak boleh sewenang-wenang "menggaet" perempuan menjadi isterinya tanpa batas, ia hanya dibolehkan maksimal empat orang isteri.
Nabi SAW dalam sebuah riwayat memerintahkan untuk menceraikan enam isteri seorang sahabat yang memiliki isteri sampai sepuluh orang. Kata Nabi SAW, Â "Ambillah empat, ceraikan yang enam." Evolusi ini, ternyata, tidak terbatas pada jumlah isteri namun juga pada hak perempuan.Â
Semula perempuan sebagai harta yang diwariskan dan tidak memiliki hak mewarisi tetapi setelah kedatangan Islam di dunia ini wanita di samping memiliki kemerdekaan untuk memilih, juga perempuan memiliki hak untuk mewarisi harta ahli warisnya.