Kami kembali sambil menikmati kanan-kiri pemandangan hutan dengan suara khas burung dan gemebyurnya ombak—karena ternyata juga lokasinya berdekatan dengan pantai yang sangat indah berpasirkan putih yang terhampar mempesona.
Sampai juga kami di tempat parkir, sambil melepas lelah menuju warung—banyak warung, ada penjual kopi, mie, nasi dan makanan ringan lainnya—saya memilih pesan mie rebus dengan es teh manis penghilang rasa lapar. Pada saat yang sama ada seorang anggota polisi yang berdinas di tempat ini, namanya Wahyudi—kebetulan saya tidak terlalu hapal pangkatnya—sambil menikmati mie rebus kami berdialog, ngobrol santai.
A. Comte dan Toffler
Dengan mencoba mengadaptasi pandangan seorang sosiolog kontemporer A. Comte yang menyatakan bahwa ada tiga stadia pemikiran manusia; pemikiran primitive, ketika manusia percaya kepada animisme dan dinamisme, kepercayaan kepada agama dan ilmu pengetahuan. Ini tidak berarti ketika orang percaya kepada agama sudah out of date.
Karena pada tulisannya yang lain tentang “altruism”, Comte menyatakan agama masih relevan dan fungsional. Ini sebuah stadia yang berkelindan satu sama lain, karena realitasnya kita yang hidup sekarang di era ilmu pengetahuan dan teknologi juga masih terjebak pada stadia ‘primitif’.
Demikian juga Alvin Toffler dalam The Third Wave-nya, juga mengatakan kita sekarang berada di ambang peradaban ketiga. Gelombang peradaban kedua mulai runtuh. “Kita sekarang melihat tidak hanya hancurnya techno-sphere, info-sphere, atau socio-sphere gelombang kedua, tapi juga rontoknya psycho-sphere”, kata Toffler.
Dengan demikian kita sedang memasuki era revolusi sains teknologi yang sedemikian cepat perubahannya. Tetapi juga kepercayaan kepada Jeffry R. Palmer, edgar Cayce, Jayabaya, Mark Twain, Vangelia Pandeva Dimitrova, Nostradamus atau mungkin Mbah Mijan dengan ‘ramalan-ramalannya’ masih saja melekat, atau ke tempat-tempat tertentu, mendatangi ‘orang pintar’ untuk sekedar melanggengkan kekuasaan, mendapatkan jabatan, kekayaan dan lainnya. Lalu inikah yang terjadi di Alas Purwo?
Misteri Alas Purwo
Ketika selesai saling berkenalan, sampailah pada pembicaraan tentang Alas Purwo dan Goa Istana yang telah kami kunjungi, lalu beliau bercerita mengalir dengan fasih. Menurut penuturannya, hutan ini masuk kategori taman nasional dan bersebelahan dengan milik Perhutani.
Alas ini masih menyimpan sejuta misteri dan keanehan, sekedar menyebut contoh, ia pernah bersama seorang temannya yang asli daerah tersebut,”ikuti saya, saya tahu persis daerah ini”, demikian katanya dengan percaya diri.
Apa yang terjadi, ia dan temannya tidak ketemu jalan, tersesat sampai menjelang maghrib. Ini karena disinyalir temannya terlalu ‘sombong’ dan membanggakan diri dengan keberpengetahuannya.