Saat kucoba terus bernafas
Perih terasa sulit bertahan
Rasanya ingin ku berlari
Tuk mengakhiri tapi ku tak bisa…
Petikan lirik lagu “Cinta Sejatiku” dari OST Film Cinta Laki-Laki Biasa yang dibawakan oleh Deva Mahendra dengan penuh penghayatan ini nampaknya mewakili wajah film-film yang bernafaskan Islam ditanah air ditengah gempuran kaum kapitalis di segala lini, termasuk di industri film Indonesia.
Entah dari kapan sistem kapitalisme ini diterapkan di negeri ini. Kekayaan alam, SDM, demokrasi dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat, perdagangan, bahkan hingga perfileman telah dikuasai semua oleh sistem kapital.
Saya ingin mencoba membahas dari sisi budaya, wabil khusus dunia film Indonesia. Akhir-akhir ini geliat perfilman nasional cukup menggembirakan, bahkan mampu bersaing dengan film-film impor. Film-film bermutu pun sudah mulai banyak diproduksi untuk menggerus film-film hantu berbau pornografi. Namun tak dipungkiri masih ada film-film yang menyelipkan bau-bau pornografi atau bahkan mengumbar pornografi dan pornoaksi tersebut.
Lebih spesifik lagi, kini juga telah bertebaran film-film bernafas islam yang berasal dari novel atau cerpen karya penulis-penulis ternama di Indonesia, seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Habiburrohman El Shirazy, dll. Mulai dari Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Assalamu’alaikum Beijing, Surga Yang Tak Dirindukan, Ketika Mas Gagah Pergi, Jilbab Traveler, Cinta Laki-Laki Biasa dan masih banyak lagi film-film yang berasal dari novel atau cerpen islami.
Kembali lagi, ketika kapitalisme juga masuk ke dunia perfileman, maka bisa dibilang film-film yang bermodal besar dengan sponsor yang jor-joran yang akan menguasai bioskop-bioskop di tanah air. Bahkan film yang buruk pun jika ditopang modal besar dan sponsor-sponsor besar akan bisa mengalahkan film-film bagus dan bermutu yang modalnya dibawah mereka. Hal seperti ini tidak hanya menimpa film-film yang bernuansa islam saja, film-film baik lainnya pun juga akan tergerus jika ga kuat modal.