Mohon tunggu...
Sumardiono
Sumardiono Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh Agama Islam Fungsional

Saya seorang Penyuluh Agama Islam Fungsional. Berasal dari Gresik Jawa Timur Indonesia. Sosok yang sederhana. Suka dengan ilmu dan membaginya. Tidak berminat dengan popularitas. Kajian favorit saya berkaitan dengan studi agama, filsafat, sosial-budaya, pemberdayaan masyarakat dan isu-isu kontemporer. Saya juga tertarik dengan teknologi. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam didepan laptop dan membicarakan atau mendengar kajian masalah agama, masalah sosial budaya, isu politik, masalah filosofis. Tujuan besar saya, saya ingin memberi manfaat bagi sesama tanpa membedakan suku, agama, ras dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gugatan Cerai Atas Kasus KDRT

27 Oktober 2023   10:55 Diperbarui: 27 Oktober 2023   13:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai penyuluh, saya kadang dihadapkan pada masalah warga yang berkonsultasi masalah perceraiaan. Banyak faktor kenapa pasangan mengajukan gugatan cerai. Namun yang paling marak adalah proses perceraian bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya ada seorang istri yang  mengajukan gugatan cerai dan menuntut harta bersama karena suaminya melakukan KDRT secara fisik dan masih banyak kasus-kasus serupa.

Korban KDRT dapat membuat laporan ke kepolisian dan mengajukan gugatan cerai. Laporan ke kepolisian dapat dilakukan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Korban akan diminta menyerahkan bukti pendukung, seperti surat perawatan rumah sakit, foto luka, atau saksi. Korban juga akan dirujuk untuk melakukan pemeriksaan visum, baik fisik maupun psikiatri, di rumah sakit. Hasil visum tersebut akan menjadi bukti penting dalam proses hukum.

Dasar hukum pemidanaan tindakan KDRT secara fisik diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 44 ayat 1 UU tersebut mengatur bahwa pelaku KDRT dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000.

Gugatan cerai dapat diajukan ke Pengadilan Agama dengan alasan KDRT, perselisihan antara suami-istri, atau penelantaran. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Gugatan cerai dan harta bersama dapat dilakukan bersamaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, baik atas nama suami maupun istri. Pembagian harta bersama dilakukan berdasarkan kesepakatan atau putusan pengadilan.

Kita ambil contoh kasus seorang perempuan, misalnya inisial ibu Valen yang merupakan korban KDRT berulang dan berlapis. Valen telah menggugat cerai suaminya, sebut saya Pak Cahyo, dan mendapatkan hak asuh anak serta nafkah dari suami. Namun, Pak C

ahyo melaporkan Valen atas tindak pidana KDRT psikis karena diusir dari rumah dan dihalangi bertemu dengan anak. Kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri setempat, meskipun Komnas Perempuan telah menerbitkan surat rekomendasi untuk menghentikan penyidikan perkara tersebut.Cerita diatas menunjukkan betapa sulitnya proses perceraian bagi korban KDRT, terutama jika aparat penegak hukum tidak memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus KDRT. Namun tetap harus diupayan pencegahan perceraiaan karena dalam ajaran agama kita dianjurkan untuk mencari jalan-jalan penyelesaian yang menyatukan bukan sebaliknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun