Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah memprioritaskan penurunan angka stunting sebagai salah satu masalah utama dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Stunting, yang mengindikasikan gagal pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak akibat kekurangan asupan gizi dan kesehatan, menjadi fokus serius bagi Kementerian Kesehatan.Â
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) baru-baru ini mengumumkan penurunan prevalensi stunting dari 24,4% pada tahun 2021 menjadi 21,6% pada tahun 2022, sebuah tanda positif dalam perjuangan melawan masalah ini. Dengan target akhir mencapai angka stunting sebesar 14% pada akhir tahun 2024, pemerintah harus mencapai penurunan sebesar 3,8% setiap tahun.
Namun, penanganan stunting tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah mengambil langkah signifikan dengan menggandeng Kementerian Agama untuk meluncurkan program Pendampingan, Konseling, dan Pemeriksaan Kesehatan dalam Tiga Bulan Pranikah. Program ini bertujuan untuk mencegah stunting dari sumbernya, yaitu calon pengantin.
Kementerian Agama (Kemenag) memiliki peran krusial dalam program ini karena mereka bertanggung jawab atas urusan agama di Indonesia, termasuk pendidikan dan sosial agama. Kemenag memiliki struktur yang tersebar hingga ke tingkat kecamatan, yang dikenal sebagai Kantor Urusan Agama (KUA), dan hingga tingkat desa dengan penyuluh agama. Hal ini memungkinkan mereka untuk mencapai elemen masyarakat hingga ke tingkat desa dan berhadapan langsung dengan calon pengantin.
Peran Kemenag RI dalam upaya pencegahan stunting lebih menekankan pada bagaimana mereka dapat membantu masyarakat hidup lebih sehat dengan memberikan bimbingan pada calon pengantin (dikenal sebagai Bimbingan Perkawinan - BIMWIN) dan juga pada remaja usia sekolah (BRUS). Sasaran utama dari program ini adalah calon pengantin (catin), dan pendekatan ini memiliki potensi besar untuk mengurangi angka stunting di Indonesia.
Stunting merupakan masalah serius yang memiliki dampak jangka panjang, seperti gangguan perkembangan otak anak, yang berdampak pada produktivitas di kemudian hari. Bayi dan anak-anak yang mengalami stunting memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi, seperti penyakit diabetes pada usia lanjut. Oleh karena itu, upaya pencegahan stunting pada tahap awal kehidupan menjadi sangat penting, terutama dalam konteks "1.000 hari pertama" dari kehidupan anak, dari konsepsi hingga usia 2 tahun.
Kegiatan yang dilakukan dalam program ini melibatkan materi tentang stunting selama 3 bulan sebelum menikah, yang disebut Bimwin (Bimbingan Perkawinan). Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya asupan gizi dan kesehatan sebelum menikah. Remaja putri juga menjadi sasaran, dengan upaya untuk mengatasi anemia dan kurang energi kronis sebelum pernikahan mereka, sehingga mereka dapat memulai kehidupan pernikahan dengan kondisi kesehatan yang baik.
Masalah anemia, kurang gizi, kurang asam folat, dan kurang vitamin D pada perempuan dapat mengakibatkan plasenta yang tipis dan kurangnya asupan gizi yang cukup selama kehamilan. Oleh karena itu, kesadaran dan tindakan seperti mengonsumsi tablet tambah darah menjadi langkah krusial dalam mencegah dampak buruk pada bayi.
Pernikahan pada usia muda juga menjadi masalah serius, karena dapat berdampak pada kesehatan ibu dan bayi. Ukuran panggul yang kurang dari 10 cm dapat mengakibatkan risiko kematian ibu dan bayi. Oleh karena itu, Kemenag mengambil peran dalam memberikan Bimbingan Perkawinan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai upaya pencegahan stunting.
Dalam perspektif agama, Menag (Menteri Agama) menyatakan bahwa mukmin yang lebih baik dan kuat lebih dicintai daripada mukmin yang lemah. Oleh karena itu, upaya pencegahan stunting juga mencerminkan nilai-nilai agama dan moral yang ditanamkan pada calon pengantin.