Mohon tunggu...
Masdin Pacidda
Masdin Pacidda Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa, penerjemah, dan blogger yang senang berbagi lewat tulisan-tulisan online.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Ospek UNHAS 2001: Tiga Hari yang Merontokkan Semangatku

24 Juli 2011   14:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:25 1848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13115169471791868964

Tidak terasa tahun ajaran baru telah bergulir lagi. Sudah menjadi sebuah tradisi, semua Mahasiswa baru yang diterima baik di PTN maupun PTS harus menjalani sebuah prosesi 'sakral' yang dinamakan OSPEK. Terlepas apakah OSPEK ini masih penting atau tidak, saya punya pengalaman sendiri selama mengikuti OSPEK di Fakultas MIPA UNHAS Makassar tahun 2001. Sekalipun telah 1 dekade berselang, masih segar di ingatan saya 3 hari yang telah merontokkan semangatku itu. [caption id="attachment_121313" align="aligncenter" width="604" caption="Prosesi Ospek di Kampus UNHAS Makassar (doc:putrikodok.wordpress.com)"][/caption]

Aku melonjak kegirangan saat kutahu nama dan nomor tesku tercantum dalam koran pengumuman UMPTN malam itu. Beribu rasa bercampur aduk hingga sulit rasanya diungkapkan dengan kata-kata. Aku bersujud syukur kepada Allah, doa dan harapanku akhirnya terkabulkan. Aku terbaring dan dibuai oleh euforia malam itu, yang tanpa kusadari justru menjadi nightmaredibawa bagi ribuan peserta tes lainnya yang tidak lulus di PTN.

Aku berbaring dengan wajah berseri-seri sambil menatap masa depan dengan penuh percaya diri. Dalam pembaringanku, tiba-tiba aku melihat sesosok mahasiswa yang sangat idealis, melangkah dengan pasti sambil mengenakan topi di kepala dan menenteng buku tebal-tebal berjalan menelusuri Pintu I Unhas. "Ah... sosok Mahasiswa yang kuimpikan, akan seperti itulah diriku nantinya," gumamku dalam hati. Tanpa kuketahui, jauh di balik rimbunnya pepohonan di Pintu I ratusan mahasiswa telah jauh hari sebelumnya mempersiapkan pesta yang "meriah" untuk menyambut kedatanganku. Kuinjakkan kakiku untuk pertama kalinya di koridor Fakultas MIPA UNHAS, sebuah tempat yang telah menjadi kiblat bagi anak-anak MIPA. Sepintas tidak ada yang menarik perhatianku kecuali sebuah tulisan yang diukir di tembok sebelah selatan: "Ringkas Anakda sampaikan bahwa Anakda diterima di Fakultas MIPA Unhas. Dengan ini Anakda mohon doa Ayahanda dan Ibunda agar Andakda dapat melewati PROGRESIP 2001 dengan selamat". Aroma penindasan tiba-tiba tercium setelah membaca tulisan itu, merasuk hingga ke dada dan membuat jantungku berdetak lebih cepat. Dengan tulisan itu, setidaknya aku sudah bisa meraba seperti apa prosesi yang telah menungguku. Seperti yang dijadwalkan, pagi itu aku datang paling awal untuk pengembalian biodata maba. Tetapi sayang, aku lupa sesuatu (baca: map) yang mengharuskan aku kembali dan justru menjadi maba paling terakhir mengembalikan biodata. Kedatanganku disambut dengan gertakan dan tamparan dari para senior. Aku disuruh menatap matahari yang sedang terik-teriknya sampai aku menemukan tulisan MIPA di bundarannya. Dengan keluguan seorang maba, aku ikuti perintah itu dan setiap kali ditanya "sudah kau lihat tulisan MIPA?" setiap kali pula aku menjawab "belum kak?", dan setiap kali pula aku mendapat tamparan karena jawaban itu, sampai mataku tidak kuat lagi menatap sang surya. Dengan berjalan jongkok dan kepala tertunduk aku menuruni tangga koridor untuk melewati beberapa pos penyambutan. Di setiap pos aku mendapatkan perlakuan yang kurang lebih sama seperti pada pos pertama, kecuali di pos terakhir yang merupakan pos kerohanian. Pada salah satu pos senior memrotes model rambutku yang "belah samping", katanya model rambutku ketinggalan jaman maka aku disuruh mengubahnya seketika menjadi "belah tengah". Tanpa protes aku turuti saja kemauan mereka hingga rambutku menjadi acak-acakan. Proses pengembalian biodata maba benar-benar telah memberikan tekanan mental yang sangat besar kepadaku. Doktrin senioritas tertanam seketika dalam diriku. Hari-hari prosesi pra-ospek, dan tiga hari OSPEK sebenarnya selanjutnya semakin menekan mentalku dan semakin mengokohkan doktrin senioritas itu. OSPEK sesungguhnya yang dikemas dalam PROGRESIP (Program Reformasi Pola Sikap dan Pola Pikir) baru dimulai hari ini dan berlangsung selama 3 hari ke depan. Sekitar jam 3 subuh seluruh maba diharuskan telah berkumpul di area yang telah ditentukan. Karena takut terlambat aku sampai-sampai hampir terjaga terus malam itu. Dengan kepala gundul, seragam OSPEK hitam-hitam, tas kain yang dijahit sendiri, jerigen air minum 2 liter dan tongkat kayu, cepat-cepat aku menuju Pintu I dimana puluhan senior telah menungguku. Kedatanganku disambut dengan makian "cilaka" dan kengkreng yang tak terhitung jumlahnya. Aku dan seluruh maba lainnya dihalau dengan kepala tertunduk menuju Fakultas MIPA. Setelah upacara pembukaan PROGRESIP 2001 kami digiring ke LT.2 sambil "jalan kereta" dengan harus melewati empat tangga. Banyak yang tidak sanggup melewati episode tersebut sehingga harus keluar dari barisan dan mendapatkan hukuman. Dengan sekuat tenaga aku bertahan dan hampir saja aku kehabisan nafas dan tidak sanggup berdiri ketika tiba di LT.2. Di LT2 kami mendapatkan materi-materi seputar pergerakan kemahasiswaan dan dunia akademik sambil diselingi perploncoan. Di setiap jeda materi seorang senior akan memegang tongkat komando dan memberi instruksi "dalam hitungan ke-3 tidak boleh ada kepala di atas meja", alias kami yang jumlahnya ratusan dan duduk berhimpit-himpitan harus masuk ke dalam kolong meja LT2 yang sangat sempit. Aku tetap memaksakan masuk ke kolom meja sekalipun dengan badan yang terjepit sana-sini karena saking takutnya. Banyak yang mendapatkan pukulan karena terlambat dan ruang di kolong meja tidak mencukupi. Setelah kegiatan di LT.2 selesai kami kembali digiring ke koridor F-MIPA, sebuah tempat yang telah menjadi saksi "pembantaian" puluhan angkatan di Fakultas MIPA. Tak henti-hentinya kami mendapatkan tekanan mental dan fisik di tempat yang telah menjadi kiblat bagi anak-anak MIPA ini. Bagian prosesi yang tidak dapat kulupakan adalah acara makan siang. Kami disuruh duduk berhadap-hadapan dengan sebungkus nasi di hadapan masing-masing. Sungguh tidak kuduga jika sebelum makan kami harus "mencuci" tangan di ketiak teman yang ada di depan masing-masing. Dan bagi maba perempuan mereka harus "mencuci" tangan di hidung teman di depannya. Pada perintah pertama terlihat semua maba tidak patuh dan enggan melakukan instruksi. Tetapi, superioritas senior tidak bisa dibendung sehingga pada instruksi kedua kalinya tidak ada lagi yang membangkang. Ritual "mencuci" tanganpun dimulai diiringi teriakan histeris dari para senior yang menyaksikan prosesi itu. Sebagian senior yang tidak tega menyaksikan pemandangan itu masuk ke sela-sela maba dan membisikkan agar kami hanya berpura-pura, tetapi pemegang tongkat komando tahu akan hal itu dan menginstruksikan masing-masing maba harus mencabut 1 bulu ketiak temannya sebagai barang bukti. Yang tidak mampu memperlihatkan 1 bulu ketiak akan kena hukuman dan tidak diizinkan makan siang. Karena tekanan mental yang luar biasa bagi kami yang masih lugu semua instruksi dilaksanakan sekalipun banyak yang curang dengan mencabut bulu kakinya lalu memperlihatkannya sebagai bulu ketiak teman, termasuk juga diriku, tetapi aroma khas itu sudah semerbak menyebar di seluruh koridor. Setelah ritual "mencuci" tangan selesai, kamipun dipersilakan makan dengan aturan bahwa nasi dan lauk harus dihabiskan terlebih dahulu dan terakhir sambelnya. Banyak yang muntah seketika saat bungkusan nasi di hadapannya terbuka, khususnya maba perempuan. Tetapi aku tetap menyantap makanan itu tanpa menghiraukan ritual tadi dan aroma khas yang sudah menyebar menusuk hidung. Beruntung acara makan siang yang seperti ini hanya berlangsung 1 hari. Tiga hari OSPEK kulalui dengan tekanan mental dan fisik yang sangat besar bagiku. Tanpa kusadari tiga hari tersebut telah menjadi awal dari terkikisnya semangat idealisme mahasiswa versiku yang kutanam sejak awal kelulusan. Hingga akhirnya mencapai puncak di pertengahan perjalanan akademikku dan berakhir dengan tidak selesainya studiku di Fakultas MIPA Unhas. Kuakui aku telah salah memaknai PROGRESIP 2001 dan aku tidak berhasil mengambil esensi yang diembannya. Tetapi, aku yakin bahwa jalan hidup kita berbeda-beda yang bermuara pada satu tujuan dan aku telah menempuh jalan yang berbeda dan insya Allah akan tiba jua pada tujuan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun