Cultur Shock
Oleh: Ahmad Hidayat
Setiap orang pasti akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan bersosialaisasi ketika berada dilingkungan yang baru pertama kali disinggahi dan ditempati, yang lebih familiar disebut sebagai “ Culture Shock”. Istilah etrsebut pertama kali dikenalkan oleh seorang peneliti bernama Kelvero Obelg pada tahun 1995. Ia menemukan fakta bahwa setiap manusia yang berpergian dan hidup di suatu Negara atau daerah dengan kebiasaan masyarakat yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat tinggal di tempat aslinya akan mengalami “gegar budaya”. Seperti halnya penyakit Culture shock juga mempunyai penyebab,gejala,serta cara-cara penyembuhannya. Demikian juga dengan apa yang pernah saya alami ketika pertama-tama tinggal di pondok pesantren. Dengan lingkungan yang sangat jauh berbeda dan dengan segala bentuk aktifitas yang beda pula dengan dirumah, saya mengalami kesulitan untuk bisa berdaptasi dan bersosialaisasi dengan lingkungan yang ada. Hal ini menyebabkan diri saya tidak nyaman saya rasakan sampai beberapa waktu kemudian.
Namun sebelumnya perlu sekiranya pembaca ketahui bahwa saya pernah tinggal di sebuah Ponpes yang berada ditengah-tengah sebuah desa kecil Guyangan, tepatnya berada di sebelah utara kota Pati Jawa Tengah, Raudlatul Ulum nama pesantrennya. Sebuah pesantren semi modern yang masih konsisten mempelajari kitab-kitab klasik (ex. Tafsir hadist, dll) dan juga tidak meninggalkan pelajaran-pelajaran umum (ex. Fisika, kimia, Mtk, dll) sebagai muatan kurikulum dilembaga pendidikan formalnya. Pesantren ini juga sebuah pesantren yang tidak pernah mendikotomikan ilmu yakni antara ilmu agama dan ilmu umum sebab semua ilmu adalah ilmu agama. Oleh karena itu perlu dan penting bagi kita untuk mempelajari semua ilmu.
Pertama kalinya sebelum saya tinggal dipondok, saya berfikiran bahwa tinggal dipondok sangatlah enak dan tidak akan ada masalah apa-apa, karena hidup dipondok akan dibimbing langsung oleh seorang Kiai sebagai ganti dari peran orang tua dan akan memiliki teman yang banyak yang tentunya baik-baik karana hidup didalam lingkungan pondok pesantren. Namun setelah saya tinggal beberapa hari dipondok asumsi awal saya berubah total karena hidup dan tinggal dipondok tidaklah semudah dan seenak yang saya bayangankan dari awal. Karena tinggal dipondok pesantren, saya dituntut untuk melakukan serangkaian aktifitas dan segala kebutuhan hidup saya lakukan dengan sendiri, yang dikontrol oleh system peraturan yang ketat dan mengikat. Hal yang sangat kontradiktif sekali dengan kebiasaan yang ada saat masih tinggal dirumah, hidup bersama orang tua dan keluarga dekat dengan berbagai fasilitas yang tersediakan dan mendapatkan kasih sayang langsung dari orang tua..
Pengaruh keanekaragaman teman juga mempengaruhi sulitnya saya untuk bisa beradaptasi dengan baik dan cepat dengan lingkungan yang ada. Hal ini disebabkan oleh latarbelakang daerah dan kebudayaan dari teman-teman yang berbeda-beda. Baik yang berasal dari Kalimantan, Madura, Aceh, Sumatra (saya sendiri beral dari Jambi), Jabar, Jatim dan NTT, yang tentunya memiliki Term of Reference dan Field of Experience yang berbeda-beda pula yang menyebabkan sulitnya berkomunikasi dengan baik dan sulit bagi saya untuk memahami dan menyesuaikan dengan sifat dan watak meraka. Tak jarang bagi saya sering terlibat konflik dengan mereka yang bila sadar mungkin hanya disebabkan dengan permasalahan yang sepele. Namun hal itu bisa saja terjadi karena kesulitan saling memahami dan ego tinggi yang dimiliki satu sama lainnya.
Sering terjadi saya diintimidasi dan di gojlok oleh santri-santri senior yang notabene telah lama tinggal di pondok pesantren. Hal ini juga menjadikan kesulitan tersendiri bagi saya untuk masuk dan berbaur di tengah-tengah mereka dikarenakan persaan inferior dan perasaan takut kepada santri-santri senior yang suka gojloki diri saya dan santri baru lainnya. Hal yang paling tidak saya sukai tentunya. Belakangan saya ketahui bahwa hal itu sebenarnya telah menjadi tradisi di dalam pondok pesantren yang sengaja dilakukan oleh para santri-santri senior untuk saling menggojloki santri-santri yang baru sebagai alat untuk saling mengakrabkan antara santri satu dengan santri lainnya dan juga antara santri senior dengan juniornya. Hal yang tentunya saya praktekkan juga setelah beberapa tahun tinggal dipondok pesantren kemudian dan merasakan menjadi santri senior atau santri lama.
Kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang baru tidaklah lantas membuat saya berpatah semangat dan tidak betah untuk tetap bertahan tinggal dipondok pesantren. Hal ini selain dikarenakan oleh support dan doa restu dari segenap keluarga yang serasa tiada henti untuk saya namun juga belajar dipondok pesantren telah menjadi tekad dan cita-cita saya semenjak kecil. Karena itu saat saya mengingat hal tersebut maka seolah terpacu kembali semangat dan tekat untuk belajar dan mengaji dipondok pesantren dengan sungguh-sungguh. Segenap cobaan dan kesulitan-kesuliatan yang ada mampu saya lalui seiring dengan berjalannya waktu. Permaslahan dengan teman-teman baru akan saya jadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga untuk kehidupan kedepannya. Dengan adanya perbedaan dengan lingkungan yang ada saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dan mampu mempelajari banyak hal terkait dengan memahami sikap, karakter dan watak orang lain yang tidak bisa serta merta kita generalisasikan atau kita samakan dengan diri kita sendiri.
Setelah sekian lama tinggal dipondok pesantren saya mulai menyadari bahwa perbedaan tidaklah selamanya jelek bagi kita ketika kita masuk dan tinggal dilingkungan yang baru. Dengan perasaan terbuka untuk bisa menerima segala sesuatu yang ada dan mencoba berdamai dengan lingkungan dimana kita tinggal, akan bisa membuat diri kita menjadi lebih kuat untuk tetap bertahan. Meski hal-hal yang baru akan tetap menyulitkan bagi kita untuk kita hadapi namun paling tidak kita telah menjadi seorang yang tetap mampu bertahan meski dalam keadaan yang sulit sekalipun. Demikian juga dengan diri saya. Saat saya rasa telah bisa berdamai dengan keadaan dan telah cukup lama di pondok pesantren saya bisa merasakan kenyamanan dengan lingkungan yang ada dan bisa enjoy menjalankan setumpuk rutinitas didalam pesantren.
Namun manusia hidup tetaplah akan senantiasa dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang baru, yang bahkan mungkin tidak pernah dikira dan difikirkan sebelumnya. Setelah lama tinggal dipondok dan bisa enjoy menjalankan kehidupan di pondok pesantren timbul permasalahan baru, permasalahan yang ada selanjutnya adalah saat pulang kerumah sendiri. Mendapati lingkungan yang berbeda dari yang dahulu sebelum saya pergi ialah sebuah hal yang membuat diri saya merasa terasing sendiri dengan lingkungan tempat saya dilahirkan dan tentunya membuat saya tidak nyaman menerima keadaan yang ada. Hal seperti ini terjadi saat melihat teman-teman sepermainan dulu telah banyak yang berkeluarga dan sibuk bekerja diluar kota membuat diri saya serasa tidak ada teman dan saat berada dirumah. Ini tentu membuat saya malas untuk pulang ke rumah kalau tidak diminta orang tua pulang dan memang kangen dengan mereka mungkin lebih memilih tinngal di pondik saja atau memilih pulang kerumah teman dekat sebagai ganti pulang kerumah saat liburan datang .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H