Kisah ini dimulai dari suatu kisah yang menarik dari sebuah novel apik.[caption caption="warung rakyat kami atas izin pemilik desain dwiyogaar"][/caption]
Dari semak di tebing sungai yang trejal, munculnya pertanyaan dua mahkluk tuhan
“kan sudah zaman edan, Mas. Pilihan kita hanya dua. Ikut edan atau jadi korban keedanan.”
“memang sich pak, sekarang ini dimana tidak ada orang edan?jajaran birokrasi pemerintah, itu gudangnya. Jajaran penegak hokum, tentara, dekdikbud, depag, sama saja. Kontraktor, banker, tak ada beda. Wakil rakyat? Ngge sami.
Dialog ihwal waras ini saya ambilkan dari buku Ahmad Thohari Orang-orang Proyek. Buku yang sangat baik untuk menjaga agar waras masih berpihak kepada kita—jika memang mendambah waras itu baik. Saying sekali, jika kita bicara pada orang-orang yang tak mengenal kewarasan itu sehat dan perlu laiknya ikan yang tak lagi mempertanyakan air sebagai habitat hidupnya.
Separuh nafas kita menahan badai penghancuran yang bertubi-tubi mendera DI Yogyakarta justru diera dimana keistimewaan mendapat formalitas dalam kerangkah UU khusus keistimewaan yaitu UU No.13 di penghujung tahun 2012. Jadi ksitimewaan di sisi lain ada upaya memagarinya dengan definisi yang ‘official’ sebagiamana yang termaktub di dalam UU tersebut dan dari beragam framing yang dimainkan oleh birokrasi-teknokrasi. Di sisi sebrang lainnya, ada pembantaian definisi formal dengan membangun beragam kontruksi baru apa makna keistimewaan.
Bahkan ada keistimewaan itu diartikan sebagai sesuatu yang telah tercerabut ruh dari materinya. Keistimewaan telah direnggut dari saripatinya oleh kekuasaan yang pongah. Dan di social media saya saksikan ada pula yang bilang itu neo-fasisme.
Jogja ilang dalane
Jembar supermarket-te
Penguasa lalai