Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ini Warungku, Mana Warungku?

7 April 2016   10:23 Diperbarui: 7 April 2016   10:44 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada satu kesan tersendiri setelah 15 tahun tinggal di jogja mulai dari tinggal di terban yang sering belanja di warung tetangga tepat menghadapi masjid lokasi warungnya, lalu di sleman yang bertetangga dengan pasar rejodani, lalu di patangpuluhan juga bertetangga dengan pasar rakyat, dan terkahir di jogokaryan yang bertetangga dengan warung mbokwo yang sangat ramah pada anak anak Dan tetangga. Jogokaryan pun hanya 5 menit dari pasar tradisional, prawirotaman.

Ada Keasikan yang sangat luar biasa Hidup di dekat pasar rakyat selama ini. Hubungan dekat saling kenal saling bertukar informasi adalah hal hal sederhana tapi penuh makna. Saya sendiri punya langganan di mana harus membeli lele, cabe, sayur dan hampir semua Kita tahu di Mana tinggalnya. Ada juga yang berasal dari Tuban tak jauh dari tempat saya di lamongan.

Banyak hal yang kita dapatkan di Warung tetangga dan pasar rakyat sebagaimana obrolan di kanal radio pagi ini yang Tak pernah kita dapatkan di pasar modern yaitu pertama, soal hubungan manusiawi, saling membantu, memperkuat koperasi, saling menghargai dan bekerjasama, juga suasana kebudayaan asli yang mestinya kita junjung bersama.

Mbok wo dan mas Tri adalah de facto pemilik warung tanpa papan nama ini. Hampir Setiap pagi atau sore salah satu dari Kami pasti ke sana bahkan alhamdulillah, Anak anak Saya yang umurnya 3 dan 6 jauh lebih asik ke Warung Mbok wo dibandingkan toko modern. Dapat dimengerti, ke warung tetangga sangat simple bisa ditempuh dengan jalan kaki atau bersepeda bareng adik atau temannya.

Tentu saja, suatu keasikan yang akan semakin langkah ditemui di hari hari yang akan datang jika toko modern dibiarkan liar menjamah perkampungan.

Selalu muncul pertanyaan apa sich masalahnya kalau hobi belanja di pasar modern? Atau apa sich enaknya belanja di Warung tetangga yang gak lengkap dan bla bla bla stigma negatif lainnya. Saya pun waktu siaran kemarin di KBR juga ditanyakan demikian. Saya pun berhasrat merespon pada kesempatan ini (Rekaman siaran ada).

Begini ceritanya. Ada banyak hal yang kita dapatkan dari kebiasaan belanja di warung tetangga dan pasar rakyat yaitu persaudaraan, kepedulian, kepercayaan, pertemanan, nilai budaya, kemudahan, informasi, pelayanan manusiawi, dan masih banyak lagi. Kita pasti bisa mempererat silaturahmi kita dengan tetangga, Anak anak dengan tetangga, dan banyak hal lain yang tak pernah Kita dapatkan di toko modern.

Warung tetangga menyimpan budaya toleransi, kebersamaan, tolong-menolong dan banyak nilai lainnya. Interaksi sosial pun dipastikan terjaga.

Biar bagaimanapun tetangga lah yang mengerti kondisi kita, membantu kita. Hubungan manusiawi ini lah yang sangat penting dalam budaya Indonesia. Siapa pun yang dibesarkan dalam budaya asli nusantara akan mengamininya.

Jadi, belanja ke warung tetangga tak sekedar mendapat barang tetapi juga makna keterikatan sosial. Itulah arti warung tetanggaku, bagaimana dengan warungmu?

Semoga semesta mendukung. Selamat pagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun