[caption caption="poster Urban Literacy Campaign by ARY 2016"][/caption]Sore menjelang magrib di awal april tahun 2016, peserta FGD sudah cukup banyak mendiskusikan beragam keresahan sosial dan huru hara akibat menjamurnya praktik pembukaan toko modern berjejaring asing di Yogyakarta yang menegasikan beragam regulasi di daerah, datanglah dua orang peserta yang terlambat yang mengaku datang dari Seyegan—dua warga kasuran yang menyuarakan penolakan karena alasan melindungi warung tetangga dan pasar tradisonal. Beliau menceritakan bahwa pihak alfamart sudah memberikan DP kepada pemuda untuk kas sebanyak 25 juta dengan motif dibantu agar kepala desa segera “ACC”.
Kelompok yang menolak pun sudah ada tandatngan 40-an warga yang menolak dan telah diberikan kepada kepala desa. Karena, kepala desa tak mau tandatangan. Salinan juga dibawah beliau berdua ditunjukkan pada peserta FGD sabda rakyat Jogja yang bertempat di LOD DIY sore itu.
Ketika saya Tanya, apakah tidak berbahaya untuk menolak toko modern? “sampai sekarang tidak ada ancaman.”, ujaranya. Saya sendiri tak percaya tanpa intimidasi sebab sudah menjadi rahasia umum pengusaha toko modern ini suka membeli dukungan, menyuap, dan sebagainya untuk mendapatkan persetujuan. Ini sudah banyak informasi terkumpul. Dua minggu steelah itu, kasus dusun kasuran memanas dan nyaris terjadi bentrokan antar warga.
Betapa mulia hati dua orang warga kasuran tersebut, mereka melindungi orang-orang yang mengancamnya sehingga tidak mau bercerita betapa pahitnya perjuangan penolakan toko modern berjejaring yang ia lakukan dengan teman-temannya. Seolah, dua warga ini bersedia betul menanggung segala resiko perjuangannya sendirian tanpa harus mengatakan permintaan pertolongan kepada para pegiat anti-dominasi toko modern berjejaring asing. Sunggu hati yang mulia….
Hari hari ini sang kepala desa dilaporkan banyak menerima ancaman dan para pemilik regulasi seolah absen dari praktik huru-hara sosial yang diakibatkan oleh nafsu kapiatalisme. Rakyat dikorbankan terus menerus dari sengketa keuntungan yang rakyat tak pernah menuai. Sayang seribu kali sayang:
“...Sleman ilang tandurane
jembar super market-te
sleman ilang dalane
jambarke swalayane.”
Kira-kira itu nada satire yang pernah diciptakan oleh salah satu pegiat urban literacy campaign yang juga kelahiran sleman—tak jauh dari tempat yang kini diserbu oleh took modern berjejaring asing (bikin milik warga lokal). Kampanye sejnis yang mengeman jogja sebagai daerah istimewa juga dilakukan oleh tagar #GerakanMembunuhJogja lewat beragam poster dan seri diskusi di berbagai tempat. Diskusi di social media adalah salah satu habitat kelompok ini. Taka da salahnya dengan habitat ini sebab hari ini diperlukan banyak media untuk melakukan gerakan eman kota, eman jogja yang sedang dilanda pertempuran fundamentalisme pasar dengan hasrat mengeman kebudayaan masyarakat lokal.
Karena, tidak banyak lapangan pekerjaan di Yogyakarta kadang satu buah toko modern berjejaring saja sudah dianggap baik karena telah mempekerjakan orang lokal 3-5 orang. Inilah trade-off masyarakat yang berhasrat tumbuh dan berkembang sebagaimana lazimnya masyarakat: butuh penghasilan, butuh pendapatan, butuh rekreasi keluarga—sehingga banyak warga terjebak dalam kebutuhan peekerjaan ini menjadi sangat ‘marah’ jika melihat gerakan menolak toko modern berjejaring yang sudah jelas membunuh kehidupan ekonomi masyarakat dalam jangka panjang (hasil riset pustek UGM dan LOD DIY tahun 2014). Secara nasional, hampir 400 pasar tradisional mati atau pertumbuhannya minus, sementara toko modern pertumbuhannya besar.