“...banyak komunitas agama yang ragu dalam memasang sumber-sumber energi terbarukan di tempat ibadah, atau mengambil sikap kuat terkait perubahan iklim.”
Penggalan kalimat di atas merupakan artikel yang dirilis oleh VoA Indonesia sebulan lalu. Ulasan yang berdimensi multi-negara ini hendak mengirimkan pesan bahwa masih lemahnya kontribusi agamawan dan lembaga agama dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan-persoalan lingkungan global.
Salah satu yang paling krusial hari ini adalah mengenai perubahan iklim dan pemasnasan global yang ditandai dengan hadirnya bencana ekologis yang beruntun mulai banjir, gempa bumi, kebakaran hutan, dan kegagalan teknologi nuklir. Di dalam artikel tersebut, ada apresiasi positif mengenai semakin responsifnya kelompok agama dalam memberikan reaksi terhadap persoalan ekologis walau masih terkesan lamban. Banyak harapan dari masyarakat, kaum agamawan memperkuat peran emansipatif dan preventifnya dalam mengurangi persoalan-persoalan degradasi lingkungan hidup.
Dalam artikel ini, penulis hendak mendiskusikan gagasan dan praktik ideal bagaimana masjid sebagai institusi agama Islam yang mempunyai infrastruktur dan fasilitas memadai untuk melakukan langkah nyata menghadang bencana ekologis. Gerakan islam yang memberikan kontributif terhadap pencegahan bencana lingkungan merupakan gerakan islam progresif yang perlu ditumbuhkembangkan di Indonesia. Hal ini sangat penting karena ‘pra-kondisi’ lingkungan sudah menunggu respon tepat oleh kaum agamawan dan aktifis gerakan islam. Taruhlah misal, persoalan sampah di kota, pendangkalan sungai, pencemaran air, pemborosan air tanah, kerusakan hutan, hilangnya beragam spisies tumbuhan dan binatang yang berdampak pada ekosistem secara keseluruhan. Keadaan ini merupakan input yang akan memantik untuk menemukan cara-cara cerdas keluar dari lingkaran setan bencana ekologi.
Memposisikan peran organisasi lembaga keagamaan menjadi suatu keniscayaan hari ini. Sebagai gagasan tertulis misalnya kita dapat melihat subyek organisasi bernama masjid. Masjid merupakan institusi agama islam sebagai tempat ibadah yang juga mempunyai peran sosial-budaya dan dalam banyak aspek juga menjadi sarana pendidikan politik bagi jamaahnya. Peran-peran sosial keagamaan masjid merupakan peran yang sudah dapat dikategorikan sebagai fungsi konvensional masjid. Sementara fungsi ekologis dari masjid merupakan fungsi yang sifatnya kebaruan yang perlu diperkuat dengan reformasi paradigmatik atau filosofis, preventif dan pembangunan praktik-praktik kegiatan yang berdimensi pro-lingkungan atau istilahnya eco-friendly.
Salah satu komunitas muslim di Amerika telah memberikan ilustrasi menarik bagaimana islam menjadi agama hijau (Abdul-Matin, 2008). Dalam level filosofi misalnya dijelaskan bahwa banyak sekali ayat-ayat dalam al-quran yang mengajarkan ummatnya untuk menjaga kelestarian alam dan juga tidak berbuat kerusakan. Banyaknya human error atau human-made disaster yang ada hari ini juga sudah lebih dari seribu tahun lalu diingatkan dalam al-quran. Jumlah “ayat-ayat ekologis’ cukup banyak jika dibaca di sana sehingga islam sendiri sebenarnya adalah agama yang tidak ramah terhadap kejahatan kapitalis dan korporasi perusak lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa peran preventif ummat islam dalam urusan ekologi telah diperintahkan sebagai kewajiban.
Kedua, mencegah kerusakan itu jauh lebih baik dari pada mengembalikan atau memperbaiki kerusakan sehingga kesadaran akan kewajiban pencegahan ini mutlak harus menjadi program atau kegiatan lembaga keagamaan islam. Pengetahuan akan memudarnya ‘martabat alam’ harus pula menjadi penggetahuan jamaah islam untuk menjadi common sense sekaligus mengidentifikasi langkah-langka strategis yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan fiqh atau ibadah tidak boleh dipisahkan dalam realitas hidup jamaah sehingga jamaah merasa dekat dengan alam dan lingkungan serta memberikan kontribusi bagi kelestariannya.
Terakhir, salah satu inspirasi dari praktik ramah lingkungan di sana adalah bagaimana masjid melakukan penghematan dan pemanfaatan air dengan maksimalisasi kegunaan air bekas air wudhu serta penghematan listrik. Eksistensi masjid di Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu baik yang berada di kota besar sampai pelosok desa pasti tterdapat komunitas yang mengelola keberadaannya.
Adanya persoalan lingkungan seperti banjir sampah, banjir, debu, musnahnya spesies tumbuhan dan ketersediaan tanaman sayuran dan obat yang semakin tergantung pada impor adalah sedikit persoalan yang sebenarnya kelompok islam atau jamaah masjid dapat memberikan kontribusi. Hampir semua masjid mempunyai halaman, mempunyai sumberdaya manusia yang dpaat dikelola secara sinergis untuk menghasilkan beragam produk yang dapat memenuhi kebutuhan jamaahnyya atau pasar lokal.
Masjid dengan pembaharuan peran non-konvensional ini juga jika dilakukan massif maka masjid sebagai institusi agama secara pelan tapi pasti telah memberikan kontribusi bagi pencegahan pemanasan global dan pengurangan resiko perubahan iklim dengan pendekatan 3R: reduce, Reuse, dan rescyle. Selain itu juga dilengkapi dengan produksi tanaman yang menghasilkan sumber kehidupan berkelanjutan ( sustainable).
Dengan demikian, ribuan Masjid kemudian mempunyai fungsi pemberdayaan ekonomi, menghasilkan uang, sekaligus mempunyai peran penyelamatan ekologis. Masyarakat juga akan berintrekasi ke masjid bukan hanya untuk kepentingan ibadah tetapi juga untuk menjawab kebutuhan bibit tanaman tertentu, belajar skill daur ulang, skill pertanian vertikultur atau hidrorganik, produksi energi listrik terbarukan, atau pembuatan pupuk organik, dan kegiatan edukasi lainnya.