Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Politik

Paradigma Inklusif Pembangunan

15 Maret 2016   20:06 Diperbarui: 15 Maret 2016   20:37 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memasuki tahun kedua pemerintahan Jokowi-Yusuf Kalla, nampaknya perlambatan bukan hanya pada sektor ekonomi dalam banyak sektor juga mengalami perlambatan inovasi dan kehilangan elan vital di dalam pelayanan publik—BPJS yang melahirkan persoalan semrawutnya data dan ketidakpuasan masyarakat. Nada-nada getir pun seringkali melayang di sosial media oleh netizen. Seolah publik merasa pemerintahan ini terlalu tinggi membuat target tetapi prestasinya masih jauh panggang dari api. Istilah jawanya, sepi ing gawe rame in pamrih. Kegaduhan bukan hanya di dalam parlemen tetapi juga di dalam istana. Setahun kabinet bekerja menyisakan lebih banyak kekurangan terlebih ihwal kuasa ologarki di dalam praktik pemerintahan (Muhtadi, 2015). Perlu agenda-aksi lebih radikal untuk mengembalikan harapan publik kepada pemerintahan setelah optimisme memudar di akhir 2015.

Sepanjang tahun 2015, banyak aktifis ekologi berteriak kencang mengenai brutalnya kebijakan pembangunan yang luar biasa baik yang diakibatkan oleh ketidaktepatan kebijakan oleh pemerintah nasional maupun oleh kepentingan rezim pertumbuhan oleh kepala daerah. Illegal loging dan pembakaran hutan dilegalkan karena ada agenda penting pembangunan daerah, begitu jua ekspansi industri multinasional yang membuat banyak kontroversi dalam proyeknya. Mulai dari kebumen, pasir besi dan bandara di Kulonprogo, pegunungan kendeng antara Pati dan Rembang, Sumbawa, Bali, Makasar, dan sebagainya. Ada situasi emergency yang tak sepenuhnya direspon dengan sungguh-sunnguh oleh pembuat kebijakan (top level policy making, seperti Bappenas, dan juga penyelenggara kebijakan di level daerah. Karena tidak tuntas dan memuaskan respon yang diberikan, seringkali perencanaan pembangunan menjadi musuh bersama komunitas dan dalam level yang lebih massif semakin buruknya penerimaaan publik pada beragam proyek pembangunan.

Tulisan ini hendak  menyorot banyak hal tetapi bisa diawali dari ihwal paradigme pembangunan. Paradigma yang diperlukan adalah humanisme dan inklusifisme untuk menunjang agenda sustainability development atau yang sekarang bisa dibaca sebagai SDGs. Paradigm yang mulia ini seringkali divandal dengan beragam kebijakan dan implementasi pembangunan yang justru sebaliknya. Banyak kearifan local, kesetimbangan eksosistem, kesetiaaan sosial yang justru diancam oleh agenda pembangunan. Situasi ini menjadikan wajah janus rezim pembangunanisme menjadikan publik melakukan perlawanan. Warga mendamba kehadiran Negara disaat kesulitan hidup menimpa, tetapi tidak hadir dan justru Negara hadir dalam wajah yang ‘jahat’ untuk berdalih menegakkkan ketertiban. Ketertiban ini justru menampakkan bukan ketertiban politik ala Huntington, tetapi adalah political decay ala Fukuyama.

Praksis pembangunan di republik ini adalah bentuk revolusi fisik dimana setiap agenda pembangunan harus memakan korban fisik dan psikis masyarakat. Jika menilik Erich Fromm (2010) dalam buku The Revolution of Hope: Toward a Humanized Technology mengadvokasi keharusan praktik pembangunan yang memanusiakan manusia atau menghindarkan perlakuan memesinkan masyarakat (dijadikan objek) dan teknikalisasi persoalan karena sejatinya setiap individu dalam Negara adalah subyek. Jadi ‘hukum besi’ negara sebagai lembaga yang memonopoli kekerasan untuk menegakkan ketertiban umum di dalam terotori tertentu (Weberian) sejatinya tidak digunakan sebagai mindset penyelenggara pembangunan. Situasi konfliktual ini frekuensinya semakin tinggi terjadi di negara ini. Di sinilah urgensi paradigma pembangunan inklusif. Paradigma ini ke depan harus sampai pada level way of live pembangunan atau menjadi teologi inklusif pembangunan.

Kebinet kerja atau Kabinet nawacita secara konseptual sudah sangat ideal sebagai basis filosofis pembangunan, namun operasinalisasi, agency, dan evaluasi juga harus menjadi unsur yang tak boleh dilupakan begitu saja untuk menjembatani ketidakpuasan masyarakat dengan pengetahuan yang lebih gampang dicerna oleh mayoritas warga. Sajian pelaporan capaian kinerja pembangunan yang terlalu teknokratis dengan pendekatakan ‘rasional-komprhensif’ (Santoso, 2013) yang menutup alternatif lain seharusnya dapat lebih membumi dengan situasi empirik SDM masyarakat. Sebagai wujud pembangunan inklusif, Will to improve sejatinya muncul dari inisiatif lokal, pendayagunaan kekuatan komunitas dan bukan lagi pemaksanaan top-dow policy yang jauh dari gagasan policy based evidence.

Akibat tidak konsistennya paradigm pembangunan dalam program kegiatan menyebabkan paradok di beberapa situasi. Sebagai contoh, provinsi yang menyandang predikat istimewa justru menjadi ladang angka kemiskinan yang tinggi di penghujung 2015 separti Papua dengan angka kemiskinan 30,05% (selama lima tahun berkurang tidak siginifikan), Aceh sebesar 17, 17 (naik) dan terakhir DI Yogyakarta dengan angka 14.64 % (sumber:BPS). Ini adalah deretan keadaan sosial yang seharusnya tidak terjadi di daerah istimewa di mana sumber pendanaannya juga cukup besar karena status keistimewaannya. Dalam APBN-P 2015 ini dialokasikan Dana Otonomi Khusus sebesar 17,115 triliun, yang terdiri atas Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp 7,057 triliun, dana tambahan Otonomi Khusus Papua sebesar Rp 3 triliun, Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh Rp 7,057 triliun, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp  547,450 miliar. Selain itu, juga ada dana transfer lainnya sebesar 104,411 triliun. Kekuatan dana ini seharunya bisa memangkas angka kemiskinan dan melambungkan apa yang disebut Skockpol (1995) dan Fukuyama (2005) sebagai social welfare.

Nasib yang sama juga melanda pada daerah-daerah perbatasan di Indonesia justru terjadi di era desentralisasi. Beberapa analis kebijakan menyebutkan bahwa yang menjadi salah satu sumber persoalnnya adalah metode pendekatan keamanan lebih dominan ketimbang pendekatan kesejahteraan. Sumber daya Negara dimobilisir untuk menegakkan kedaulatan dan sekuritas jauh lenbih serius ketimbang membangun kekuatan lokal, sumber daya alam, lembaga pendididikan untuk sustainable development di wilayah tersebut. Semoga SDGs di dalam nadi pembangunan bangsa ini,  bukan hanya bekerja memuaskan lembaga donor saja

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun