Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengajar

26 Februari 2015   00:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di sini, pendidikan sudah dilarutkan dalam permainan dan tempat pelarian. Ke sekolah karena menghindar dari kerja, membantu orang tua. Juga, agar dapat bermain bersama teman sebaya. Begitulah jika mahu dengan jujur mengatakan keadaan yang sesungguhnya. Tetapi, semua sengaja merahasiakan. Setidaknya diam, agar tidak dikatakan ketinggalan zaman.

Dan di sini, saya mengajar dan bertempat tinggal, sehingga ikut merasakan dan menyaksikan, anak lelaki ikut ke laut menjaring atau merawai. Ada juga yang ke darat, menakik getah, mencangkul atau mencetak batu bata. Anak perempuan juga, kecuali ke laut. Tetapi anak perempuan bekerja lebih, di rumah, membantu ibu.

Bagi saya, itu biasa. Begitulah sememangnya. Mau bilang apa? Mengharap murid atau masyarakat yang berubah? Sudah sangat lama mereka menginginkan. Harapan dan keinginan tidak pernah merubah kisah penderitaan. Eh. Belum bisa. Begitulah masyarakat nelayan kita.

Dan di sini pula, guru yang mesti berubah. Seperti saya umpamanya, tidak pernah memberi tugas atau PR kepada murid. Karena tahu, pasti tidak akan dikerjakan, dan saya juga tahu jawabannya dengan pasti, jika ditanya: membantu orang tua di rumah.

Bukan berarti guru tidak serius atau hanya mengikuti kemauan murid. Bukan begitu. Guru tetap bekerja sungguh-sungguh. Tujuan mengajar tetap sama, seperti guru di kota: mengikuti kurikulum resmi. Materi pelajaran wajib disampaikan dan harus dapat dikuasai atau dipahami murid.

Hanya management kelas dan strategi mengajar, mungkin, berbeda dengan di kota atau kampung yang sudah maju.

Perlu diketahui, murid-murid si sini tidak mengenal istilah jam istirahat. Bagi mereka waktu istirahat adalah waktu bermain. Guru dan masyarakat sekitar juga beranggapan sama. Waktu istirahat berganti nama menjadi keluar main.

Hampir setiap hari, guru menyaksikan murid-murid bersorak riang, senang dan gembira, ketika lonceng istirahat berbunyi. Itulah waktu yang ditunggu, keluar main.

Semua mereka bermain. Halaman sekolah sangat ramai. Murid-murid berhamburan di halaman atau di teras sekolah untuk bermain bersama. Dengan satu jenis permainan yang sama.

Ya. Dalam periode waktu tertentu, hanya ada satu jenis permainan yang dimainkan. Dalam banyak kelompok bermain. Ada kelompok besar, kelompok kecil dan individual, atau bermain perseorangan. Aturan main bisa berbeda, walau jenisnya sama.

Sehingga, di sini, periode waktu dinamakan dengan jenis permainan. Contoh, musim kelereng. Berarti pada periode waktu, ketika semua anak di kampung ini bermain guli, dengan beragam modelnya. Untuk guli, ada model main pangkah, main sebar, main tiga lobang, dlsb.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun