Saya pernah mengajar di SD 018, Pengkalan Batang, Bengkalis, kira-kira 7 KM dari kantor Bupati ke arah barat dan kira-kira 10 KM dari kantor Dinas Pendidikan. Hanya ada satu jalan untuk menuju ke SD ini dan sampai ke ujung pulau, desa Perapat Tunggal. Jumlah guru cukup, kecuali guru bidang studi agama, berlebih. Saya salah satunya, yang lebih banyak tidak, daripada mengajar.
Saat luang, saya suka duduk di perpustakaan. Awal pertama masuk: Sangat menyedihkan! Maklum, tidak pernah dibuka, apalagi difungsikan. Bila dikatakan ia jantung peradaban, maka sudah tidak berdenyut. Berbagai ilmu yang ada di buku ibarat darah beku. Menyedihkan, ruang sebesar itu hanya berfungsi untuk gudang. Berdebu, sampah, meja kursi patah, buku berserak dan sebagian dimakan anai-anai, juga tikus.
Para pihak, khususnya pemangku pendidikan, sengaja membiarkan. Petugas khusus tidak pernah ada. Kebijakan dan pengawasan daei dinas hanya melihat wajah, bukan jantung. Lebih bangga dibilang gagah, walau berpenyakit. Padahal perubahan itu mestinya dari buku, bukan guru. Karena tidak ada guru yang dapat membuat pandai.
Sebagai guru saya lebih cenderung memberi motivasi agar anak didik sadar dan bangkit jiwanya untuk melakukan perubahan demi masa depannya. Selebihnya, siapkan fasilitas untuk anak mencari dan belajar sendiri. Fasilitas belajar yang maha penting adalah perpustakaan. Di negara maju, perpustakaan sudah berbasis kelas. Anak dapat mencari pengetahuan yang dibutuhkan atau ditugaskan dengan membaca buku yang ada di kelas. Adapun kita, di sekolah saja perpustakaan tidak berfungsi untuk belajar.
Catatan sejarah: semua peradaban yang besar dan unggul, karena kecintaan masyarakatnya kepada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak bisa dipisah dengan buku, dan buku tempatnya di perpustakaan. Seperti Yunani, Romawi, Islam Arab, dan Barat. Mereka menjadi unggul pada zamannya, karena ilmu pengetahuan. Begitu pula peradaban barat hari ini.
Ketidakpedulian dengan perpustakaan, berarti mengabaikan buku, tidak mencintai ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, kita menjadi bangsa yang tidak memiliki berperadaban, rapuh dan gampang dihancurkan.
Sejauh yang saya pernah kunjungi, sekolah dan kantor pemerintah, kondisinya hampir sama. Mungkin fisiknya tidak separah perpustakaan SD 18, tetapi sama-sama tidak difungsikan. Bahkan di Perguruan Tinggi, ada perpustakaan yang nyaris sama, hidup segan, mati tak mahu, bukunya tidak bermutu.
Jauh berbeda, dibandingkan dengan Malaysia dan Singapore. Sudah sejak lama kedua negara ini menerapkan sistem perpustakaan online. Masyarakat bisa dengan mudah meminjam buku dari rumah.
Tersebab tidak dikelola dengan baik, murid, sampai ke mahasiswa tidak suka mendatangi perpustakaan. Akibatnya mereka tidak suka membaca. Pada gilirannya, masyarakat menganggap, bahwa membaca tidak penting dan hanya membuang waktu percuma.
Terlalu jauh kalau kita membandingkan dengan negara maju, seperti Jepang dan Amerika. Bagi mereka, membaca adalah kebutuhan. Saat ini mereka menggalakkan penulisan dan penerbitan best seller Internasional. Mereka sudah memproduksi ilmu pengetahuan untuk dunia. Penelitian dan penulisan, semua cabang ilmu pengetahuan, diberi penghargaan sangat tinggi, royality dari negara. Di sana tidak ada ilmuan, apalagi bergelar profesor ngompreng menjadi politisi, seperti di kita. Karena materi untuk ilmuan sudah dipikirkan negara.
Adapun kita, mengkonsumsinya saja tidak mahu, malas. Waktu yang semestinya digunakan membaca digunakan nonton tv atau ngerumpi. Jangan heran, kalau pergi ke daerah, tidak ada toko menjual buku bacaan. Andaipun ada, sebatas menjual buku pelajaran dan tulis sekolah. Tidak ada buku bacaan, karena tidak akan yang membeli.