Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Hadist

22 Maret 2015   10:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:18 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadist adalah sumber hukum islam kedua, setelah alQuran. Meskipun berkedudukan di peringkat kedua sebagai sumber hukum otentik, tetapi materi hukum yang tersedia dalam hadist sangat melimpah, sampai tidak terkira banyaknya. Hal itu mudah dimaklumi, karena hadist adalah praktek kehidupan Muhammad sehari-hari, ketika beliau sebagai nabi, maupun tidak. Sedangkan alQuran adalah wahyu dari Tuhan yang diturunkan, sesuai dengan keperluan Muhammad sebagai nabi.
Pengertian hadist sebagai sumber hukum islam, memberikan satu pemahaman penting. Yakni, hadist, seperti juga alQuran, bukanlah kitab hukum. AlQuran dan hadist bukanlah aturan bagi perbuatan muslim yang bersifat praktis. Dan, tidak ada satupun para ahli hukum yang mengatakan, hadist dan atau alQuran sebagai kitab hukum. Semua ahli hukum islam menyepakati bahwa, keduanya adalah sumber, yang darinya hukum islam diciptakan atau ditemukan.
Ada proses khusus yang harus dilalui, untuk terjadinya pembentukan hukum praktis dari sumbernya. Proses tersebut merupakan langkah-langkah dinamis penggalian hukum, yang diistilahkan dengan istinbath. Dan, untuk melaksanakan istinbath hukum, dibutuhkan banyak disiplin keilmuan dan pengetahuan.
Khusus untuk hadist, agar dapat diterima sebagai sumber hukum islam, memiliki tingkat kerumitan dan kesulitan lebih tinggi. Berbeda dengan alQuran, yang dengan mudah langsung dapat diterima keberadaannya sebagai sumber hukum.
Para ahli hukum tidak mudah percaya dan sulit untuk menerima hadist sebagai sumber hukum disebabkan oleh hadist itu sendiri. Yakni, ada sejarah panjang yang terjadi pada hadist, sebelum dibukukan.
Lebih satu abad sebelum dibukukan, hadist tidak diperhatikan, bahkan cenderung disalahgunakan, untuk berbagai kepentingan, khususnya politik dan ekonomi. Baru di masa peralihan abad ke-2 H, para pengumpul hadist telah menampakkan hasil kerjanya.
Kondisi hadist sebelum dikodifikasi inilah yang menyebabkan sulitnya ia diterima sebagai sumber hukum. Perlu diteliti dahulu kebenarannya. Para ahli hukum memberi istilah takhrij untuk penelitian hadist tersebut.
Dan setelah dilakukan takhrij, ternyata hasilnya tetap sama. Sebagian besar hadist, tetap tidak mampu meyakinkan para ahli hukum untuk dapat diterima.
Alhamdulillah, melewati proses berliku, akhirnya hadist diterima. Namun diterimanya, hanya berdasarkan dugaan atau perkiraan bahwa, ia dari nabi. Dugaan terhadap status hadist nabi tersebut diistilahkan dengan zhanniy, meskipun matan atau isisnya shahih/benar.
Dengan kata lain, hadist shahih itu adalah kebenaran yang belum dapat dipastikan dari nabi. Mengapa belum pasti? Karena yang meriwayatkan hanya sedikit orang, tidak sampai kepada jumlah yang memberi kepastian, atau qath'i menurut istilah para ahli hukum.
Berbeda dengan alQuran yang pasti atau qath'iy, karena ia diriwayatkan oleh semua umat islam dalam setiap generasi. Tidak ada sedikitpun keraguan terhadap sumber hukum yang bersumber dari wahyu alQuran ini.
Penerimaan hadist yang hanya berdasarkan sangkaan atau tidak pasti, harus benar-benar diingat dan dijadikan pegangan. Umat islam tidak boleh terkecoh dan memberi penilaian melampaui yang semestinya terhadap hadist.
Hadist memiliki kebenaran yang tidak mutlak atau pasti. Dan, menganggap sesuatu yang zhaniy sebagai qath'i adalah sebuah kesalahan. Jika berpijak kepada anggapan yang salah, maka konsekwensi terhadap hukum atau peraturan yang diciptakan atau ditemukan dari hadist, juga akan salah, setidaknya keliru.
Kesalahan membuat kesimpulan hukum, karena kesalahan mendudukkan dalil, akan sangat berbahaya. Baik bagi penemu atau pencipta hukum, maupun bagi masyarakat islam yang menjadikan pendapat hukumnya sebuah aturan hukum.
Bagi yang berpendapat tanpa ilmu, tentulah akan mempertanggung-jawabkan pemikirannya di hadapan Tuhan. Sedangkan bagi masyarakat luas, akan berdampak langsung bagi kehidupan bersama. Andaikan dampak yang ditimbulkan banyak mudlaratnya, tentulah yang memberi keputusan hukum ikut menanggung dosanya.
Atas dasar itulah, maka nabi mengatakan bahwa, seorang hakim telah menempatkan kakinya, satu di surga dan sebelahnya lagi di neraka. Hakim yang dimaksud dalam hadist adalah siapapun orangnya yang memberi pendapat hukum untuk orang lain, maupun diri sendiri. Karena nabi berpesan agar, jangan membuat kemudlaratan. Baik untuk diri sendiri, lebih lagi untuk orang lain. Dalam kaitan dengan hukum, maka kemudlaratan yang ditimbulkan adalah buah dari pendapat. Berhati-hatilah!
===================
Sebagai sumber otentik yang darinya hukum islam dibentuk, hadist memiliki materi pembentuk hukum terbanyak, nomor satu. Hampir seluruh amal keseharian umat telah ada materinya dalam hadist.
Banyaknya materi hadist yang tersedia, mestinya diambil hikmahnya dengan kemudahan untuk memilih yang beragam. Sayang, yang terjadi sebaliknya. Hadist menjadi faktor yang selalu memicu lahirnya perdebatan sengit karena perbedaan. Umat islam belum dewasa untuk memilih satu dari yang beragam dan banyak. Akibat dari itu, hadist juga menjadi pemicu timbulnya ketegangan, bahkan konflik antar sesama muslim.
Berhadapan dengan hadist sebagai sumber materi hukum dalam kehidupan beragama, tidaklah mudah dan tidak pula sederhana. Kedalaman ilmu dan kedewasaan sikap sangat dipentingkan. Tanpa ilmu yang memadai dan tanpa kedewasaan sikap, maka yang akan terjadi adalah sikap merasa paling benar. Bahkan akan menjadi sebab terjadinya ketegangan yang mematikan.
Perbedaan pendapat dan pandangan, adalah sesuatu yang manusiawi dan alamiyah. Begitupun perbedaan pendapat hukum islam yang disebabkan oleh hadist. Ada baiknya, umat islam memiliki ilmu dan pengetahuan terhadap sebab timbulnya perbedaan pendapat hukum karena hadist.
Hanya dengan ilmu dan pengetahuanlah, kedewasaan dalam beragama dapat menjadi dasar pergaulan. Juga untuk menghindari suasana keagamaan yang kurang kondusif. Syukur-syukur, dengan memiliki sedikit pengetahuan, perbedaan menjadi kemudahan. Seperti sabda nabi: "perbedaan adalah bentuk kasih sayang".
Seperti sudah disebutkan di atas, untuk menjadikan hadist nabi saw. sebagai sumber dan dasar hukum, harus dilakukan penelitian, atau takhrij. Melalui takhrij, akan terungkap dengan jelas bahwa, perbedaan pendapat disebabkan oleh dua sebab: (1) penerimaan dan (2) pemahaman.
Sebab pertama, penerimaan. Diterima atau tidaknya hadist disebabkan atau didasarkan kepada: 1) kwantitas (sanad/transmisi), yakni jumlah orang yang meriwayatkan di setiap generasi: sahabat, tabi'in, tabi' tabi'in, dst. sampai kepada penulis kitab hadist. Penelitian transmisi ini akan melahirkan status hadist: mutawatir yang qath'iy dan ahad yang zhanniy.
Hadist mutawatir adalah hadist yang perawinya dari generasi ke genarasi jumlahnya sangat banyak, sehingga tidak mungkin salah. Contohnya hadist tentang ibadah, semuanya mutawatir. Umat islam dari generasi pertama sampai seterusnya adalah periwayat yang sah, karena mereka mengamalkan.
Sedangkan hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh jumlah yang sedikit, tidak sampai ke jumlah yang memenuhi syarat hadist mutawatir. Ada beragam pendapat ahli tentang banyaknya jumlah perawi yang harus ada dan memenuhi syarat mutawatir untuk setiap tingkatan atau thabaqat. Para ahli tidak sepakat dari segi jumlahnya. Dan tidak pernah akan sepakat sampai kiamat. Maka tidak ada perlunya kita membicarakan jumlah yang diperdebatkan tersebut. Yang pasti, semua hadist nabi yang bukan persoalan ibadah, semuanya ahad, atau tidak pasti datangnya dari nabi saw., kecuali satu. Dan hanya satu itulah yang disepakati, yaitu hadist: "sesungguhnya (nilai) perbuatan mengikut kepada niat."
Ke-2, kwalitas (matan/isi). Dari segi kwalitas, akan diketahui statusnya: sahih, hasan, dhaif dan maudlu'. Untuk mengetahui status matan hadist ditentukanlah beberapa kriteria, di antaranya: tidak bertentangan dengan alQuran, tidak bertentangan dengan akal sehat, tidak berbeda dengan matan hadist lain yang secara kwantitas statusnya sama, atau lebih tinggi. Dst...
Kumpulan kitab hadist yang ada, seperti Bukhari, Muslim, dlsb., adalah kumpulan hadist yang berstatus shahih dari segi kwalitasnya. Semua penulis menuliskan hadist, yang berdasarkan kriterianya shahih, dalam kumpulan kitab hadistnya. Meskipun ada juga yang tidak membuat kriteria khusus. Melainkan mereka menuliskan semua hadist yang secara riwayat diyakininya sendiri bahwa, itu dari nabi.
Hadist-hadist yang matan atau isinya shahih, juga tidak serta merta dapat menjadi sumber atau dasar hukum.mkarena yang lebih menentukan penerimaan terhadapnya adalah jalur transmisi atau sanad. Dan untuk jalur sanad, hanya diterima secara pasti yang mutawatir saja. Sedangkan yang ahad? Sangat ramai perdebatan ahli hukum di wilayah hadist ahad yang jumlahnya sangat melimpah ini. Sulit dan tidak semestinya kita mengambil yang kita senangi, dengan menyisihkan yang lain, tanpa ada bukti kuat yang argumentatif berdasarkan fakta dan data.
Perkembangan teknologi informasi yang dapat terhubung dimanapun, telah menjadikan kerja penelitian hadist mudah dan murah. Kita tidak perlu lagi berkutat dengan kitab-kitab yang puluhan, bahkan ratusan jilid jumlahnya. Semua kelengkapan untuk itu sudah tersedia perangkatnya dalam format digital. Perpustakaan hadist -in sya Allah- sudah semuanya terpublikasi dalam format digital dan dapat diakses oleh siapapun melalui internet.
Meskipun demikian, perbedaan penerimaan hadist tetap saja tidak bisa dihindari. Karena masing-masing ulama hadist telah menentukan kriteria perawi yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sulit, bahkan boleh dibilang tidak ada, rawi yang dapat selamat dari cacat, atau jarh dalam istilah ilmuwan hadist. Ya. Seperti mustahil untuk mendapatkan seorang manusia yang diakui kebaikannya oleh semua golongan, semua mazhab dan semua orang.
Imam hadist yang terpercaya seperti Bukhari akan menentukan kriteria penerimaan hadist sahihnya berbeda dengan kriteria yang dibuat oleh Muslim, Tarmizi, Abu Daud dan imam-imam hadist yang lain. Akibatnya hadist sahih menurut imam Muslim, bisa dianggap dlaif (lemah) oleh imam hadist yang lain. Bahkan tidak tertutup kemungkinan digolongkan hadist maudlu'.
====================
Begitu pula cara memahami hadist. Banyak faktor yang melatarbelakangi perbedaan pemahaman terhadap hadist. Di antaranya adalah latar belakang seorang mujtahid (pembaca pertama). Baik latar belakang sejarah, budaya, maupun praktek keagamaan. Semua latar belakang itu akan mempengaruhi pemahaman seseorang. Begitu juga latar belakang kebahasaan dan latarbelakang keilmuan, akan ikut sangat berpengaruh terhadap pendapat seseorang ketika membuat kesimpulan hukum.
Dengan itu, hadist yang memiliki kwantitas dan kwalitas yang sama dapat melahirkan pendapat hukum dan amaliyah yang tetap juga berbeda.
Berdasarkan penerimaan dan pemahaman terhadap hadist, masyarakat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hadist-hadist hukum dan amaliyah tersebut sudah sangat bersebati dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Sampai batas yang bisa dicari jejaknya, amaliyah kehidupan keagamaan masyarakat, pastilah bersumber dari hadist-hadist yang telah diterima dan telah dipahami oleh ulamanya, sebelum diamalkan oleh masyarakat.
Begitulah hadist berproses menjadi dasar keagamaan dalam kehidupan. Masyarakat luas tentunya tidak sepenuhnya memahami proses yang terjadi. Masyarakat luas hanya beramal mencontoh para ulama yang telah membimbingnya tanpa perlu mempelajari proses pembentukannya. Namun, mereka tetap meyakini bahwa amal perbuatan keagamaan mereka mempunyai dasar dalam hadist.
Tentunya kurang tepat dan hanya akan melahirkan ketegangan berujung konflik, ketika dasar hadist yang diamalkan masyarakat diteliti ulang oleh ulama berbeda dengan menggunakan kriteria yang berbeda pula. Bisa dipastikan, hadist yang dijadikan pegangan masyarakat akan tergugat. Bahkan dengan kriteria yang diperketat akan menjadikan hadist-hadist amaliyah masyarakat akan tertolak dengan sebutan hadist palsu.
Penulis merupakan pihak yang tidak setuju ketika hadist yang hidup di masyarakat diteliti ulang dan dipublikasikan tanpa melalui proses penelitian perbandingan terlebih dahulu.
Lebih-lebih proses penelitian hadist merupakan kerja intelektual yang membutuhkan beragam disiplin ilmu, tentunya kesimpulan dadakan secara sepihak dan terus dipublikasikan akan sangat beresiko.
Begitupun dengan publikasi terjemahan matan hadist yang berbeda dengan amaliyah masyarakat. Juga sangat berbahaya, karena masyarakat langsung mengambilnya untuk menjadi dasar hukum. Bahkan menghakimi orang yang berbeda dengan terjamahan matan hadist tersebut.
Tentunya tidak mungkin menghalangi publikasi yang sudah begitu massif dan individualis. Karena, siapapun dapat mempublikasikan hadist, tanpa ada halangan sedikitpun dan dari siapapun. Karena itulah nabi mewanti-wanti umatnya agar berhati-hati menyebarkan hadist. "Siapa berbohong atas namaku, tempat duduknya di neraka," kata nabi saw.
Mungkin ada baiknya diingat lagi bahwa, semua hadist -selain hadist tentang ibadah- statusnya adalah ahad, meskipun shahih. Ahli hukum tidak pernah sepakat menerimanya sebagai hadist hukum. Status ahad berarti tidak pasti dari nabi saw.. Hanya diduga atau diperkirakan bahwa, itu dari nabi saw.
Hadist ahad ini menimbulkan perbedaan pendapat yang tidak dapat dihindari, sejak zaman sahabat. Sehingga imam mujtahid menggunakan kriteria khusus untuk menerimanya. Imam Malik baru mahu menerima, apabila penduduk Madinah mengamalkannya. Seperti hadist jilatan anjing dalam bejana, Imam Malik tidak mahu mengakui bahwa itu benar. Apalagi menerimanya.
Sedangkan imam Hanafi menggunakan kriteria rasionalnya. Apabila tidak masuk akal, maka ditolaknya. Seperti hadist tentang kebiasaan nabi saw. mengundi para isterinya yang akan ikut bepergian. Imam Hanafi tidak percaya dengan hadist itu, apalagi menerimanya. Bahkan dia mengatakan: "itu judi. Andai betul itu dari nabi, maka nabi harus bertanya kepada saya," katanya.
Imam Syafi'i dengan alasan penyelamatan terhadap hadist, maka hadist ahad diterimanya sebagai sumber hukum. Tetapi untuk memahami kriteria penerimaan Syafi'i terhadap hadist ahad, juga tidak mudah. Karena pemberlakuannya sangat kondisional dan kontekstual.
Bayangkan! Semasa hidupnya, Imam Syafi'i memiliki pendapat hukum yang berbeda-beda. Ada pendapat lama (qaul qadim) dan pendapat baru (qaul jadid). Perbedaan pendapat itu terjadi di tempat yang berbeda. Yang lama, ketika ia tinggal di bagdad, Iraq, dan yang baru, ketika ia tinggal di Kairo, Mesir.
Untuk membandingkan dua pendapat Imam Syafi'i yang berbeda itu, harus melalui penelitian yang tidak mudah. Tidak sedikit desertasi yang dihasilkan dengan kesimpulan yang juga berbeda-beda. Sebanyak peneliti, sebanyak itu pula kesimpulan. Memang tidak mudah.
Tidak dinafikan. Semua muslim ingin menjadi muslim yang baik dan benar. Dan semua yang baik dan benar, ingin diberitahukan kepada semua orang, agar semua menjadi baik dan benar. Tetapi perlu diketahui bahwa, keinginan menjadi baik dan benar, serta menyebarkan yang baik dan benar  tidak cukup hanya dengan semangat dan keberanian.
Ilmu pengetahuan adalah hal peinsip dalam agama. "Kebahagiaan di dunia diperoleh dengan ilmu, kebahagiaan akhirat juga dengan ilmu, dan ingin keduanya, juga dengan ilmu," kata nabi saw.. Dan beliau juga berpesan: "agama (diamalkan) dengan berfikir. Tidak (sempurna) agama, tanpa berfikir."
Dan kata nabi juga: Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta akan menggelisahkan jiwa.
Mari kita sebarkan kedamaian dengan kejujuran, agar setiap jiwa merasakan ketenangan dan kedamaian. Bukan sebaliknya, menyebarkan sesuatu yang membuat orang lain merasa gelisah dengan agamanya.
Allahu A'lam bi alShawwab.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun