"Nopo kados ngoten, Mak?" saya bertanya ibu ketika ia memberitahu akan ada kejadian berdasarkan perlambang yang didapati.
"Jajal engko dititeni, iyo opo ora?" jawaban ibu yang berbentuk pertanyaan itu mengedepankan bukti dari kebenaran yang pernah ada.
Seperti pernah ada kupu-kupu berwarna putih cantik masuk ke rumah. Ibu segera memberitahu, kita akan kedatangan tamu yang tampan rupawan. Entah kebenaran atau kebetulan, sehari setelah itu mas Trisno sang idola yang jadi rebutan temen cewek di kampus datang menemuiku di rumah.
Boleh dikatakan setiap kejadian yang ada adalah perlambang akan adanya kejadian yang mengiringi. Setiap peristiwa seakan saling terhubung satu dengan yang lain. Begitulah orang tua kami memberikan pengetahuan titen itu secara alamiah kepada kami, anak-anak mereka.
Mungkin kalian akan menuduh keluarga kami menganut kepercayaan mistis yang bersifat klenik. Atau bisa juga menganggap kami mempercayai mitos, omong kosong yang tak berdasar.
Saya memaklumi apapun penilaian orang. Karena pengetahuan membaca masa depan dari pengalaman sekarang tidak memiliki dasar ilmiah, apalagi dalil agama. Tetapi bagaimanapun anggapan orang, keluarga kami tetap berpegang kepada warisan leluhur itu. Kebiasaan menandai setiap peristiwa untuk memprediksi yang nanti.
Kesetiaan kami memprediksi yang akan terjadi dari pertanda alam itu tidak pernah mengganggu keimanan. Bahkan menguatkan, karena kami yakin bahwa yang terjadi di alam semesta ini tidak terlepas dari kehendak Tuhan.
"Ngunu iku coron'e Gusti Allah ng'e-i kabar mareng kito, menungso." Kata ayah dan ibu selalu mengingatkan kami untuk mengembalikan semua kejadian kepada Yang Di Atas. Pengetahuan leluhur itu mendorong saya untuk senantiasa mengingati setiap kejadian alam sekitar sebagai isyarat yang memiliki makna untuk mawas diri dan mengerti, agar lebih teliti dan hati-hati dalam mempersiapkan diri sesuai yang Tuhan kehendaki.
Seperti kejadian sore itu ketika saya dan ayah sedang duduk-duduk di depan rumah, tiba-tiba terdengar manuk emprit (burung pipit) berkicau. Secara reflek, saya menangkap bahwa ada pesan yang disampaikan melalui perlambang itu.
"Manuk emprit kui sore-sore kok moni neng ngarep omah, ono opo pak?" Saya bertanya kepada ayah ketika melihat burung pipit nangkring dan berkicau di antara rerantingan pohon randu depan rumah.
"Arep ono tamu apik." jawab ayah spontan dalam hitungan detik, sebelum pertanyaanku selesai.
"Sopo yo sing arek teko?" Ayah melanjutkan dalam bentuk pertanyaan. Saya mengingat-ingat beberapa nama orang istimewa yang saya kenal, yang mungkin akan mengunjungi rumah kami dengan membawa kabar gembira.