Di saat-saat akhir musim kampanye, ada rekaman video Habib Rizieq yang menjadi viral. Ketika itu ia mengatakan 1-3 lewat loudspieker. Semua menduga bahwa itu adalah isyarat kepada anggota dan pendukungnya untuk memilih paslon No.1 atau No.3. Ternyata bukan, melainkan sebuah perintah tersamar agar pengikut dan pemujanya mengalihkan dukungan dari No.1 ke No.3.
Intruksi Rizieq terbukti ampuh, sekaligus mengejutkan dan menyakitkan. Para pengamat dan lembaga survey yang sudah sejak lama memprediksi paslon Anis-Sandi hanya layak di urutan terakhir, ternyata dapat menyalib paslon AHY-Sylfie. Sejurus dengan itu, paslon AHY-Sylfie yang sedari awal selalu berjuang bersama dan FPI juga berjanji siap membantu, sangatlah tersakiti. Betapa tidak, karena ditinggalkan secara diam-diam dengan memilih paslon Anis-Sandi di bilik suara.
Hal itu membuktikan bahwa, FPI adalah pemain politik yang sangat cerdas; mengambil posisi berseberangan di detik-detik terakhir. Ingat! Ini politik. Semua peristiwa harus dilihat sebagai sebuah permainan di panggung demokrasi. Dan langkah mematikan yang dilakukan FPI kepada paslon No.1 tetap saja dianggap masih berada pada batas kewajaran.
Dengan cara itu, RIzieq menjadikan ormasnya lebih berharga daripada emas di mata paslon No.1 dan No.3. FPI membuktikan kebenaran "Vox Populi Vox Dei", suara rakyat adalah suara Tuhan. Suara pemilih telah menemukan bentuknya yang sejati: kuasa.
Suara rakyat menjadi nyata dan berkuasa; dapat menentukan segalanya; menjungkirbalikkan prediksi para pengamat dan lembaga survey; juga meluluhlantakkan perasaan orang yang sangat berharap terhadap dukungan; serta kegembiraan yang tidak terperikan bagi yang mendapatkan kemenangan karena dukungan suara.
Berpindahnya pilihan FPI ke paslon No.3, jika dilihat dari sudut pandang ideologi politik, memang sudah sewajarnya dan seharusnya. Hanya saja sering dilupakan oleh para pengamat dan paslon yang selalu berharap, sehingga seolah-olah hal itu sulit dipahami. Padahal sesungguhnya sangat mudah dipahami oleh yang mahu melihat sisi terdalam yang sedang diperjuangkan oleh FPI, yakni ideologi politik islam.
Semua tentu mengetahui bahwa, di kubu Anis-Sandi ada partai pengusung yang juga berideologi islamisme, yaitu PKS. Keduanya -FPI dan PKS- hanya berbeda dalam strategi perjuangan. Jika PKS berjuang melalui jalur politik praktis, sedangkan FPI berjuang melalui jalur politik jalanan. Tetapi keduanya memiliki tujuan yang sama, islamisme: Khilafah dan NKRI bersyari'at.
Sementara di kubu No.1, tidak ada partai pengusung yang berideologi sama dengan FPI. Dengan demikian, bergabungnya FPI di kubu AHY-Sylfie, hanyalah sasaran antara dan berpura-pura; untuk sekedar mengelabui demi mendapatkan amunisi. FPI sangat memahami. Dengan tidak adanya kesamaan ideologi, pastilah perjuangan hanya setengah-setengah, dan mustahil dapat menegakkan khilafah dan NKRI bersyari'ah. Tidak ada cara lain, selain mengakhiri hubungan, walaupun dengan pengkhianatan
Kolaborasi FPI dan PKS telah membuktikan diri. Keduanya berhasil mengerek perolehan suara Anis-Sandi di atas perolehan suara AHY-Sylfie. Tidak ada makan siang gratis. Maka tidak bisa dihindari bahwa, kemenangan yang diraih Anis-Sandi harus ditukar dengan "janji kemerdekaan". Dengan terpenuhi janji itu, maka FPI dan PKS kembali membuat agenda politik berikutnya untuk memenangkan putaran ke-2
Tidak hanya itu, Anis juga dituntut agar bersungguh-sungguh menindaklanjuti program yang senafas dengan ideologi FPI dan PKS: khilafah dan NKRI bersyari'ah. Demi mendapatkan kekuasaan, Anis bersedia merobek "tenun kebangsaan" yang pernah susah payah dirajutnya. Dan "Merobek tenun kebangsaan" ini adalah harga mati bagi FPI dan PKS. Karena hanya dengan cara itu Anis membuktikan bahwa dirinya telah bertobat dari "keliberalannya".
Akankah Anis dan para pendukungnya berhasil mewujudkan khilafah dan NKRI bersyari'ah? Jawabnya ada pada kubu Ahok-Jarot, yang walaupun di putaran ke-1 sudah dapat bertahan di puncak, tetapi tetap harus berjuang mati-matian demi kemenangan di babak ke-2 yang menentukan.