Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Muridku

28 Januari 2015   03:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:15 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali lagi kukatakan, yang mengesankan pertama bukan diri dan pribadinya, melainkan NA-MA. Nama itu pula yang membuat seseorang menjadi penting.

Nama Iwan mengingatkanku dengan nama depan pengarang pavoritku. Satu dari banyak novelis yang kukagumi: IWAN Simatupang. Yang sampai sekarang, salah satu novelnya, berjudul Ziarah, masih kusimpan dengan baik.

Kesanku terhadap novel ini: dari halaman pertama sampai terakhir ditaburi diksi yang indah, dalam rangkaian kalimat yang mempesona, dan makna yang dalam. Itu lah salah satu karya yang mengajakku merenungi dan memahami hidup.

Rangkaian kata berikut adalah cuplikan yang kusalin dari novel itu, yang sebelumnya kusimpan di dompet, kubawa kemanapun. Sekarang kalimat itu telah memenuhi ruang di pikiran. Begini kalimatnya:

"Saya menyukai keindahan dari sesuatu yang pada detik terakhir justru tak menjadi sempurna. Keindahan dari ketaksempurnaan. Tiap yang tidak sempurna adalah indah. Indah adalah ketaksempurnaan."

Sangat bermakna bagiku. Rangkaian katanya penuh pesona dan pilihan kata yang sangat indah. Iya, kan?

=================

Kedua, kenangan tentang Sepatu Iwan. Bukan "Sepatu Dahlan", karangan Khrisna Pabichara,  yang juga memiliki denyut yang menyeret ingatan sampai ke masa kecilku. Pesan moralnya juga sangat menggugah, inspiratif. Novel ini telah pula membuatku tidak bisa berhenti membaca, sebelum sampai di halaman terakhir.

Tetapi sepatu Iwan, bukan Sepatu Dahlan, meski ada pesan yang hampir sama. Namun peristiwa dari dua orang yang berbeda, tentulah berbeda.

Kisah sepatu Iwan ini, berkaitan dengan kacamata. Tepatnya mataku, walaupun keduanya, kaca mata dan mata, ada hubungan, tetapi keduanya berbeda dan terpisah. Sampai saat ini kaca mata itu terpisah dengan mataku. Aku belum berkacamata, untuk membaca, juga bekerja dan yang lainnya.

Ceritanya begini. Setelah masuk di kelasnya, saya memanggil nama murid, satu persatu, sesuai daftar hadir, buku absen. Saya mementingkan untuk mengenal nama, agar hubungan guru-murid lebih dekat. Kedekatan itu -menurutku- dibuktikan dengan menyebut nama diri, ketika memanggil. Tidak memanggil, hanya dengan kata ganti: "Hey, kamu," umpamanya. Jelas, sangat tidak mendidik, bagiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun