Wajah hukum kita kembali coreng-moreng oleh Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dugaan suap Akil Mochtar (Ketua MK) yang dilakukan oleh Chairun Nisa salah seorang anggota DPR RI, dengan gepokan Dollar Singapura. Sebagai rakyat, kita semakin sulit mempercayai sebagian besar penegak hukum dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, apalagi prilaku keji itu justru dicontohkan oleh pimpinan lembaga “setengah dewa”. Jika sedemikian bobroknya moral penagak hukum kita, strategi apa lagi yang mungkin ampuh memberantas korupsi di negeri ini?
Prilaku korupsi di Indonesia saat ini sepertinya sedang mempermaklumkan dalil “semakin hebat KPK melakukan aksi penangkapan, semakin ganas pula para koruptor melakukan aksinya”. Yang lebih merisaukan praktek korupsi justru telah menyelinap jauh ke dalam relung institusi keagamaan yang selama ini dianggap pengawal umat. Chairun Nisa misalnya selain anggota DPR-RI, yang juga pernah terperiksa sebagai saksi kasus korupsi pengadaan al-Qur’an yang melibatkan koleganya Zulkarnaen Djabar (terakhir diperiksa KPK 15/9/2012), ternyata juga menjabat sebagai bendahara LPOM MUI, sekalipun oleh ketua MUI Bidang Fatwa KH. Ma’ruf Amin ditenggarai korupsinya bukan dalam kapasitasnya sebagai pengurus MUI, namun tetap saja mencerminkan kegagalan lembaga penyandang gelar terhormat menertibkan pengurusnya.
Belum reda keprihatinan kita atas tangkapkanya dua orang pejabat Negara terhormat itu, nurani kita kembali tersentak dengan ditangkapnya Tubagus Chaery Wardana,suami Airin Rachmy Diany (Walikota Kabupaten Tangerang Selatan) yang ternyata adik kandung Ratu Atut Gubernur Banten. Dari hasil penyelidikan KPK dikatehui Tubagus memiliki kekayaan di luar batas kewajaran mencapai total 103,9 milyar, ditambah 11 mobil super mawah yang melampaui kekayaan Ratu Atut yang telah menembus angka fantastic Rp 41,9 miliar. Saat ini Tubagus telah menjadi tahanan KPK bersamaan dengan larangan ke luar negeri bagi Gebernur provinsi pemekaran 13 tahun yang lalu itu.
Layu Sebelum Berkembang
Kita semua sepakat korupsi di Indonesia harus diberantas sampai ke akar-akarnya di negeri ini. Namun kenapa akhir-akhir ini institusi-institusi keagamaan terkesan membiarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sendirian?. Kenapa KPK dibiarkan ngos-ngosan dan “keteter” dalam memberantas korupsi yang semakin masif?. Kita menyadari kerja pemberantasan korupsi bukanlah perkara yang ringan, apalagi jika masyarakat tidak terlibat aktif untuk melawan kejahatan korupsi.
Pada 2003 lalu, kita diingatkan oleh gerakan nasional anti korupsi melalui khotbah-khotbah di seluruh Indonesia, termasuk menerbitkan buku-buku teks khotbah yang akan dibacakan oleh penceramah disetiap shalat Jum’at dan/atau kegiatan ceramah informal lainnya oleh dua Ormas Islam raksasa NU dan Muhammadiyah.
Gagasan gerakan pemebrantasan korupsi melalui khotbah tersebut, setidaknya dilandasi oleh dua dasar pemikirannya. Pertama, ditenggarai bahwa betapapun masifnya lembaga formal seperti KPK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi, namun dari periode ke periode kepemimpinan nasional tidak cukup berhasil melakukan pemberantasan korupsi dalam sekala memuaskan. Hal ini terjadi, dikarenakan korupsi sekalipun dianggap sebagai musuh bersama, namun belum menjadi gerakan masal dan serius (jihad) untuk memeranginya. Bahkan gerakan pemberantasn korupsi harus berhadapan dengan korupsi berjamaah yang menyelinap dengan cantiknya pada lembaga-lembaga keagamaan.
Kedua, bahwa gerakan pemberantasan korupsi melalui khotbah, ditenggarai menjadi gerakan informal untuk partisipasi aktif memotivasi lahirnya kesadaran kritis di tengah umat akan bahaya kejahatan serius (extra ordinary crime) bernama korupsi. Meminjam istilah Paolo Freire bahwa pembangunan kesadaran kritis (critical consciousness), menjadi sangat penting diberikan kepada masyatakat sehingga masyarakat memiliki energi yang kuat dalam melakukan kontrol sosial terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh negara termasuk juga lembaga-lembaga public termasuk organisasi kemasayarakatan sendiri, dimana umat tergabung di dalamnya. Itulah sebabnya gerakan pemberantasan korupsi melalui khotbah-khotbah keagamaan dipandang mampun menjadi sarana yang ampuh untuk “memprovokasi” perlawanan terhadap korupsi yang semakin mengguritas di negeri multiagama ini.
Namun persoalannya, gagasan alternative jihad menggabungan antara energy gerakan formal dan informal melawan korupsi terdengar kalah nyaring dibandingkan teriakan jihad melawan iven Miss World. Seruan jihad melawan korupsi di negeri ini juga kalah garang dibanding seruan jihad ke Mesir atau ke Suriah untuk membela salah satu daru sesame warganya yang sedang rebutan kekuasaan.
Akhirnya kita hanya bisa menyapa NU dan Muhammadiyah. kenapa gerakan informal melawan korupsi seperti layu sebelum berkembang?. Seperti mandeknya gerakan perang melawan korupsi menunjukan kebenaran akan kritik yang menyatakan kedua ormas itu tidak akan cukup mampu mendisplinkan anggotanya yang menyelinap di lembaga-lembaga Negara maupun semi Negara. “Hallo apa kabar gerakan pemberantasan korupsi melalui khutbah keagamaan? *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H