Mohon tunggu...
Yudha Pradana
Yudha Pradana Mohon Tunggu... -

Putune si Mbah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Putra Gunung Ijen

8 Oktober 2013   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:49 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Anda berjiwa petualang atau hanya ingin sesekali meninggalkan rutinitas and get lost ? berwisata alam bisa jadi alternatif. Salah satu lokasi yang saya rekomendasikan, fully recomended not only by myself adalah gunung ijen. Berbagai trip advisory, travel agent, terutama dari eropa memberikan kategori “bintang 5”, “wajib dikunjungi”, “luar biasa”, “istimewa” untuk obyek wisata ini.

Akhir pekan kemaren, bersama rekan sekantor melangkah setapak demi setapak berusaha menaklukkan gunung berketinggian sekitar 2400 mdpl. Dasar gunung, kau begitu angkuh, tak mengenal officeboy, karyawan bahkan direktur, semua harus melakoni jalan derita yang sama. Kudu punya kekuatan fisik & mental serta tekad untuk dapat sampai ke puncak dan ditahbiskan sebagai Putra Gunung Ijen. Perjalanan mendaki dimulai dari pos Paltuding sekitar pukul 01.00, udara dingin terasa sejak turun dari kendaraan, trek menanjak sejauh 3 km berdasar tanah dan pasir dengan elevasi 15-40 derajat, setiap saat bisa menggelincirkan pendaki telah menanti di depan mata.

Setelah melalui perjalanan selama hampir 2,5 jam sampailah di puncak, semua perjuangan terasa terbayar, it’s worthed to fight, kita dapat menyaksikan blue fire, fenomena alam ketika sulfur terbakar sempurna dan menghasilkan “api biru” yang hanya bisa ditemukan di dua lokasi, Ijen dan alaska. Kemudian ditambah lagi dengan pemandangan matahari terbit disisi timur, perlahan seiring dengan semakin terangnya langit, kawah ijen yang berisi air berwarna hijau menjadi pemandangan indah, sebuah hadiah bagi para pejuang... pendaki gunung ijen yang sampai ke puncak.

Begitulah gambaran perjalanan pendakian guning ijen yang rasanya sama serupa dengan kehidupan sehari-hari, banyak dari kita mempersiapkan diri untuk “naik gunung”, baik naik kelas, naik jabatan, naik gaji, dan bermacam2 hal yang intinya ingin mencapai kondisi lebih tinggi atau lebih baik untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan. Ketika proses mendaki, saya melihat sejumlah teman, terpereset kehilangan keseimbangan sesaat, tapi lebih banyak saya dapati pendaki yang terpeleset dan jatuh ketika turun gunung. Sedikit dari kita yang mempersiapkan diri untuk “turun gunung”, hanya sedikit orang yang terjatuh ketika “naik gunung”, tapi lebih banyak orang terjatuh ketika “turun gunung”, ada yang stress, post power syndrome ato apa pun namanya.

Some says life is an adventure, bolehlah kita berjuang mendaki “gunung” kita baik berupa pendidikan, karir, penghasilan dan lainnya, tapi kita harus ingat gunung itu bukan milik kita, suatu saat kita harus turun. Harta, karir, jabatan yang melekat pada diri kita sebagai aksesories suatu saat harus kita tinggalkan atau meninggalkan kita. Semakin tinggi gunung, turunnya-pun juga semakin susah, persiapkan perjalanan turun anda, karena ternyata turun gunung juga tidak kalah susah dari naik gunung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun