"Pendidikan adalah Hak Sebagai Warga Negara". Pernyataan ini salah satu alasan bagaimana pergerakan anak muda (youth movement) dalam hal pendidikan dan kemanusiaan, menghadirkan beragam macam buku ke ruang publik, yang sekarang dikenal dengan slogan "Perpustakaan Jalanan" atau "Taman Baca Masyarakat".
Ruang publik sendiri sejatinya adalah ruang-ruang terbuka yang bisa diakses oleh siapa aja, tanpa mengenal suku, ras, agama dan kepercayaan, serta sekat-sekat lainnya. Ruang publik pulalah yang membuat interaksi antar warga terjalin sebagaimana mestinya, termasuk juga mempertemukan satu dengan yang lainnya. Namun sayang, kenyataan dihari ini masih ada saja pihak-pihak yang memprivatisasi (mengambilalih ruang) guna kepentingan pribadinya, bukan lagi untuk masyarakat luas.
Bahkan ada juga yang mengkomersialisasikan ruang-ruang terbuka tersebut, dimana ruang publik seperti taman kota, taman desa, atau lahan hijau kecil, mulai dialihfungsikan menjadi proyek bangunan baik itu hotel, apartment, maupun bangunan lainnya yang fungsinya bukan lagi untuk kepentingan masyarakat banyak. Ironisnya ruang-ruang terbuka yang diambilalih, dipenuhi dengan elemen-elemen yang berbau politik dengan dalih kebebasan berekspresi. Seakan kebahagiaan anak-anak yang bermain di taman atau lapangan luas yang dipakai anak-anak untuk olahraga atau lahan hijau tempat warga sekitar beristirahat mencari udara segar, tergantikan menjadi bangunan-bangunan tinggi dan hal-hal yang belum tentu dibutuhkan oleh warga sekitar atau masyarakat luas.
Hadirnya Perpustakaan Jalanan, Taman Baca Masyarakat, atau medium lainnya yang serupa, merupakan satu dari sekian kegiatan yang ingin mengembalikan fungsi dari ruang publik maupun ruang terbuka hijau, sehingga esensi (fungsi/tujuan) dari ruang tersebut hidup kembali menjadi taman hijau, taman tempat bermain dan berisitirahat, atau lahan terbuka yang berguna bagi masyarakat luas.Â
Komersialisasi ruang publik, pengambilalihan lahan terbuka hijau, alihfungsi dari taman hijau menjadi betonisasi dengan dalih pembangunan infrastruktur, hal-hal inilah yang mematikan aktivitas masyarakat di ruang publik. Tidak sedikit wilayah hijau atau lapangan luas kini menjadi kawasan berpolusi, yang pelan tapi pasti meniadakan zona hijau karena pepohonannya diratakan atau dimusnahkan.
Perpustakaan jalanan sendiri tidak hanya bertujuan mengembalikan fungsi ruang publik, justru ini salah satu dari sekian misinya hadir diruang publik. Sebagaimana yang terucap diatas, pendidikan adalah hak sebagai warga negara. Misi inilah yang sebenarnya dijalankan oleh mereka para pegiat perpustakaan jalanan / taman baca.Â
Terbentuk dan hadirnya medium ini didasari dari minimnya akses masyarakat ke buku-buku, lunturnya budaya baca-membaca pada masyarakat, dan kritik atas praktek-praktek kecurangan dalam konteks pendidikan dan kemanusiaan. Bisa dikatakan sebagai "jembatan" bagi masyarakat memperoleh segala informasi melalui buku-buku.
Medium Pendidikan Alternatif
Mengutip dari sumber terpercaya, "Jumlah perpustakaan sekolah pada tingkat dasar di Indonesia hanya berjumlah 90.462 perpustakaan dari 147.503 sekolah dasar yang ada, atau hanya sekitar 61,45%. Itupun hanya 28.137 perpustakaan yang berada dalam kondisi baik. Hal serupa juga dialami disektor desa, dari 77.095 desa/kelurahan yang ada baru terdapat 23.281 perpustakaan atau sekitar 30%."Â
Belum lagi akses masyarakat untuk mendapatkan buku-buku yang dicari semacam sejarah, budaya dan sebagainya, sulit didapat karena buku-buku tersebut hanya ada di perpustakaan-perpustakaan yang bersifat peminjamannya harus mendaftar di administrasi dulu (registrasi). Sekelumit proses administrasi untuk meminjam/membaca buku-buku tersebut menjadi satu dari sekian alasan mengapa masyarakat sampai hari ini enggan mengunjungi perpustakaan "formal" (yang disediakan pemerintah setempat).
Banyak masyarakat yang membaca buku-buku melalui media elektronik (seperti e-book, PDF) karena cara tersebut lebih instan, tak perlu kunjungi perpustakaan sekolah atau perpustakaan pemerintah yang menguras energi dikarenakan persyaratannya yang rumit. Fenomena-fenomena inilah yang membuat pemuda-pemudi membawa ratusan buku-buku dan menggelarnya di ruang-ruang terbuka baik taman hijau, trotoar, pinggir jalan raya, pinggir kali, kolong jembatan, emperan ruko, dan semua lokasi yang dirasa bisa dihadirkan "Medium Pendidikan Altenatif".