Menjelang pemilihan Umum (PEMILU), selalu beredar isu-isu yang mungkin membuat publik menjadi bingung. Pasalnya, kontestasi politik dari masing-masing pasangan calon, selalu berlomba-lomba dalam menggiring opini. Opini yang dibangun oleh salah satu calon melalui timnya, kebanyakan terlewat batas. Apapun dan bagaimanapun caranya mereka lancarkan. Bahkan, dalam setiap Pemilihan calon pemimpin, isu yang dibawa merupakan isu yang sudah basi dan sering dibahas dalam setiap pemilu-pemilu sebelumnya.
Opini yang sering dibangun oleh orang yang berkepentingan, biasanya adalah isu SARA. yakni tentang boleh tidaknya pemimpin non muslim. sekalipun isu ini sudah sering dibangun oleh orang-orang yang dalam tanda kutip adalah orang-orang Islam Fundamental. Saya selaku Muslim juga tidak akan pernah lelah untuk mengingatkan dan meluruskan pemahaman mereka tentang opini yang mereka bangun, yang menurut saya kurang benar. Ayat andalan yang selalu mereka pakai tercantum dalam surah Ali Imran 28 dan Al Ma’idah 51.
Mayoritas, golongan mereka (Islam Fundamental) cenderung memahami ayat al-Qur'an secara tekstual. padahal dalam kajian Ulumul Qur'an, ada ilmu yang secara khusus membahas Konteks. Dalam kajian Ulumul Qur'an, ilmu tersebut dikenal dengan Asbabun Nuzul (Sebab-sebab turunnya ayat al-Qur'an). Antara teks dan konteks selalu berkaitan dan bahkan memiliki hubungan erat, sekalipun ayat yang tercantum dalam al-Qur'an tidak semuanya mengandung Asbabun Nuzul.
Syekh Imam Mawardi salah seorang Ulama yang bermadzhab Syafi’I dan wafat pada abad ke-5 H mengkatagorikan kepemimpinan itu mejadi dua kategori. Yang pertama itu Tanfidz (Eksekutif/Pelaksana). Yang kedua adalah Tafwidhz (Legislatif, Yudikatif dan hak otoritas lainnya selain Eksekutif).
Al-Mawardi menjelaskan dalam kitabnya Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, bahwa kafir Dzimmi (Kafir yang tidak wajib diperangi) diperbolehkan menjadi pemimpin di lembaga-lembaga Eksekutif atau Tanfidz (Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur bahkan Presiden). Dan diharamkan bagi orang non muslim (kafir Dzimmi) untuk menjadi pemimpin di Tafwidz atau lembaga-lembaga Yudikatif, legislatif dan lembaga otoritas lainnya selain Eksekutif. Alasannya, karena lembaga Eksekutif hanya menjalankan aturan-aturan atau undang-undang yang telah dibuat dan disusun oleh Legislatif.
Jika dikaitkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. DPR/MPR (Legistlatif) memang menyusun Undag-undang, dan lembaga Eksekutiflah yang menjadi pelaksana dari Undang-undang yang telah disusun oleh DPR/MPR tersebut. Alasan ini diungkapkan oleh Imam Mawardi, karena lembaga Tafwidz menjadi penyusun Undang-undang dan dikhawatirkan terdapat kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap kaum muslim. Oleh sebab itulah, lembaga Tafwidz (Legislatif) harus diisi oleh orang-orang muslim. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).
Selanjutnya, jika mengacu kepada ayat yang selalu mereka pakai dalam setiap pendapatnya (Ali Imran 28 dan Al Ma’idah 51). Mereka Seringkali memaknai kata "Auliya" dengan "Pemimpin". Al-Khazin menjelaskan ayat tersebut dalam kitabnya Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Bahwa kata "Auliya" bukanlah bermakna Pemimpin, akan tetapi berarti “teman dekat”. Sedangkan Asbabun Nuzul dari ayat tersebut, diturunkan pada saat perang, yang pada saat itu kondisi orang-orang muslim masih sangat berhati-hati terhadap kaum non muslim.
Al-Khazin menambahkan dalam penjelasannya, bahwa seorang muslim dilarang menjadi teman dekat bagi orang-orang non muslim, dikarenakan. Jika hubungan mereka sudah dekat, dikhawatirkan segala rahasia yang seharusnya ditutup-tutupi akan dan rawan terbongkar, karena kondisi pada saat ayat tersebut diturukan sering terjadi peperangan. (Selengkapnya, Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).
Jika mengacu kepada pendapat ulama’ hebat diatas, sudah ditemukan dimana letak kekuragannya. Orang-orang muslim yang selalu berpendapat bahwa haram hukumnya bagi orang non muslim untuk menjadi pemimpin. Mereka selalu memaknai kata “Auliya” dengan kata “Pemimpin” padahal, dalam banyak kitab tafsir menyebutkan bahwa kata tersebu bermakna “Teman Dekat”.
Selanjutnya, jika dilihat dari pendapat mereka, mereka selalu terpaku terhadap teks dan mengesampingkan konteks dari ayat itu sendiri. Ayat yang turun pada saat perang, difahami dan dipaksakan dengan kondisi lain selain kondisi perang. Akhirnya, pemahaman mereka tidak bisa dijadikan landasan, karena salah dalam mengkontekstualisasikan ayat al-Qur’an.
Hemat saya, hal terpenting dalam memilih pemimin adalah track record dari calon pemimpin itu sendiri. Agama tidak bisa dijadikan patokan dalam memilih pemimpin. Akhir kata dari saya “Tak semua orang non muslim itu baik, dan tak semua orang non muslim itu jahat. Begitu juga sebaliknya.