Paling tidak, ada tiga jenis cerita --sebagai oleh-oleh- dari seseorang yang pulang bepergian. Terlebih dari serangkaian traveling ke banyak tempat di luar negeri.
Jenis pertama, (cerita) monolog; biasanya just talk, talk, and talk, hanya kisah-kisah penuh keseruan. Itu pasti, sebab traveling --siapa pun orangnya- memang harus seru. Dari serunya merencanakan, ribetnya packing, riangnya melewati perjalanan, hingga capeknya agenda jalan-jalan.
Jenis kedua, (cerita) katalog; kebanyakan berbentuk kisah yang sarat informasi dengan sedikit 'sentuhan' promosi. Traveler dituntut ingatannya secara benar dan tepat, dalam mengisahkan potret setiap tempat. Sebab kebenaran informasi, bagi orang lain, bakal menjadi referensi. Dan ketepatan 'sentuhan' promosi, akan dianggap rekomendasi -bagi orang lain- sebagai tempat yang memang layak untuk dikunjungi.
Jenis ketiga, (cerita) dialog; untuk satu ini jelas butuh kepekaan, sebab tidak semua traveler mampu mengisahkan. Dari setiap waktu yang dilalui; pada setiap orang yang ditemui; dan saat berada di setiap tempat yang dikunjungi; sejatinya selalu tersimpul sebuah pesan, kesan, dan nilai. Hanya dengan kepekaan, seorang traveler bisa mengunduh makna dari simpul itu. Baik berupa pesan dan kesan yang sifatnya personal, maupun nilai hidup yang universal.
Buku 'Life Traveler' yang di-travelogue-kan oleh sang traveler, Windy Ariestanty, mampu menjangkau tiga jenis cerita itu.
Monolognya seru banged. Secara, sang traveler memang sosok yang seru. Dua kawan dan seorang sahabat yang mengiringi traveling, juga seru dan heboh. Maka jadilah, perjalanan 10 hari ke banyak tempat di Vietnam dan Kamboja, bak kisah petualangan nekat. Lha wong modal mereka cekak diburu waktu cuti yang 'cepak'.
Bahkan kala traveling resmi (urusan kerjaan), dengan sembilan rekan dalam satu rombongan, tetap saja berakhir seru menjadi sebuah petualangan. Kelar urusan di Frankfurt Book Fair, mereka malah 'kabur' berkeliling Eropa. Dari Praha untuk makan dan minum kopi, menyusuri jalanan Swiss, berbelanja Louis Vuitton di Paris, hingga mampir wajib ke Red Light District (semacam lokalisasi) di Amsterdam.
Katalog dalam 'Life Traveler' ini, juga 'sesuatu' banged. Grafisnya menarik dan menonjol, tersebar sebagai catatan akhir di setiap tempat dalam semua perjalanan. Informasinya unik dan amat promokatif (promosi yang cukup provokatif), meski jangan buru-buru menjadikannya referensi. Sebab sang traveler, rupanya, kurang percaya diri. Rekomendasi penduduk lokal, dirasa, lebih valid dari beberapa petunjuk di buku atau majalah.
Buku ini juga kaya dialog. Setiap fragmen dalam semua petualangannya mengusung pesan. Ada yang simpel, seperti kedamaian yang bisa hadir dalam hiruk pikuk; kejujuran yang memang perlu ketegasan, dan cinta sebagai tempat setiap orang untuk pulang. Juga sarat nilai-nilai yang kompleks. Bahwa orang-orang yang akan kita temui diperjalanan, membuat kita tidak akan sendirian, kesepian, atau pun terasing. Mereka, sejatinya, adalah keluarga.
"Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Tapi yang paling menyenangkan adalah menemukan diri kita sendiri, sebuah rumah yang sesungguhnya. Yang membuat kita tak akan merasa asing meski berada di tempat asing sekalipun," begitulah sebuah pemaknaan mendalam sang traveler, buah dialognya di sepanjang jalan.
Dua penulis lain, Dewi Lestari (Dee) dan Valiant Budi (Vabyo), sampai meng-endorsment kepekaan Windy Ariestanty dalam berdialog dengan perjalanannya ini. Dee menyebut buku ini istimewa sebab kepekaan penulisnya dalam mengamati dan berinteraksi. Vabyo juga menilai buku ini buah tangan yang menghangatkan hati. Sebuah perjalanan yang paling sederhana sekalipun mampu disulap menjadi terasa mewah.