Mohon tunggu...
Yohanes Widodo
Yohanes Widodo Mohon Tunggu... Dosen - Yohanes Widodo a.k.a masboi. Peminat komunikasi, media, dan jurnalisme. Tamat dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan master in Applied Communication Sciecne, Wageningen University, The Netherlands. Mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ngeblog di http://www.masboi.com Bisa dihubungi di masboi@yahoo.com

Yohanes Widodo a.k.a masboi. Peminat komunikasi, media, dan jurnalisme. Tamat dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan master in Applied Communication Sciecne, Wageningen University, The Netherlands. Mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ngeblog di http://www.masboi.com Bisa dihubungi di masboi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Skripsi, ‘Mahkota’ Mahasiswa?

13 Juli 2011   04:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:43 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Skripsi ibarat ‘mahkota’ kebanggaan mahasiswa. Ia punya arti penting, bahkan dianggap sebagai masterpieceseorang sarjana. Praktik ini dimulai pada abad pertengahan. Ketika itu, untuk bisa diterima di organisasi pekerja, seorang calon pekerja atau pengrajin harus menunjukkan kemampuannya dengan memproduksi a piece of work yang disebut masterpiece. Ia diuji oleh pengurus organisasi untuk mendapatkan gelar master (Michael A. Covington, 2011). Ketika universitas berdiri, praktek semcam ini pun diterapkan. Skripsi, tesis, atau disertasi menjadi bukti bahwa mahasiswa bisa melakukan pekerjaan tertentu. Namun, kerapkaliskripsi dianggap momok. Pengerjaannya sulit dan lama. Mahasiswa harus menyediakan waktu khusus untuk mengerjakannya. Tak sedikit dari para mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi mengalami kendala, seperti kurang mempunyai minat baca, tidak mempunyai kemampuan menulis, tidak mempunyai kemampuan akademis, tidak mempunyai kesukaan untuk meneliti. Kendala lainnya yaitu keterbatasan dana, ketidakmauan mencari literatur, ketakutan menghadapi dosen pembimbing, keraguan pada keprofesionalan dosen pembimbing (Riewanto, 2003). Akibatnya, beberapa mahasiswa yang sudah lulus teori akhirnya tidak bisa menyelesaikan studinya karena skripsinya mentok. Persoalan Seputar Skripsi Ada sejumlah fenomena dan persoalan serius yang perlu diwaspadai dan mendapat perhatian kalangan perguruan tinggi seputar skripsi. Pertama, marakya bisnis pembuatan skripsi berkedok jasa bimbingan pembuatan karya ilmiah dan pengolahan data. Bagi mahasiswa malas, berotak cupet, bermental jalan pintas dan menganggap ijazah sekadar formalitas, mereka dengan mudah men-subkontrak-kan pembuatan skripsi kepada pihak ketiga. Entah itu kawan, kenalan, atau melalui Biro Bimbingan Skripsi (BBS). Kini dengan mudah kita bisa menemukan iklan BBS di Internet, surat kabar, buklet, atau poster yang ditempel di berbagai tempat. Kompas.com (19/2/2010) melaporkan, di Yogyakarta setidaknya terdapat delapan penyedia jasa yang rutin memasang iklan dengan tarif mulai Rp 2,5 juta hingga Rp 6 juta. Biaya ini meliputi pemilihan topik, penelitian, dan pembuatan laporan. Kedua, budaya copy paste. Mahasiswa kini jarang membaca buku di perpustakaan. Kebanyakan mengandalkan Google untuk sumber informasi. Padahal, tak semua yang muncul di Google bisa dianggap valid, misalnya blog-blog pribadi. Sumber yang terpercaya tidak hanya ditentukan oleh penulis, tetapi juga penerbit, yang bertanggung jawab menjaga kualitas, dengan menyediakan reviewer atau editor. Sumber dari web dianggap kurang layak karena sering tidak akurat. Mahasiswa bisa menggunakan sumber web untuk membantu memahami sumber utamanya. Jika seorang ahli menerbitkan sendiri papernya di web, perlu dilihat versi terbitannya. Banyak peneliti memasang tulisannya di web sementara mereka menyiapkannya untuk publikasi. Jika memungkinkan, temukan dan kutip versi publikasi (seperti di jurnal, buku, atau prosiding konferensi) daripada versi terbitan sendiri. Di sini termasuk penggunaan Wikipedia. Wikipedia tidak dianggap sebagai sumber terpercaya. Pendiri Wikipedia Jimmy Wales bahkan mengingatkan para mahasiswa untuk tidak mengutip Wikipedia (The Chronicle, 12/06/2006). Alasannya, kita tidak tahu siapa penulisnya, dan setiap orang bisa mengedit atau mengubah informasi yang ada kapan pun. Wikipedia bisa digunakan untuk memperoleh pemahaman umum tentang suatu hal. Namun, ketika harus mendalaminya, disarankan untuk menggunakan buku teks, artikel, atau sumber-sumber yang layak. Wikipedia juga bisa membantu menemukan sumber-sumber asli atau buku induk yang ada di catatan kaki atau link pranala luar. Ketiga, penjiplakan atau plagiarisme. Dalam penulisan skripsi, segala hal yang ditulis dalam skripsi diasumsikan adalah milik penulis: karya penulis, kata-kata penulis (Maguire, 2009). Plagiarisme adalah pelanggaran akademik, yakni mengakui hasil pekerjaan orang lain sebagai karyanya. Plagiat atau penjiplak adalah orang yang menggunakan pikiran, kata-kata, tabel, atau gambar milik orang lain tanpa memberikan pengakuan (credit). Karena itu, apapun yang seseorang gunakan, dan itu bukan berasal dari pikiran atau ide sendiri, ia harus memberi credit dengan cara menuliskan sumber atau referensi (Maguire, 2009). Membangun Kultur Agar skripsi bisa digunakan parameter kualitas dan intelektualitas mahasiswa, dibutuhkan sejumlah prasyarat yang harus dibangun. Pertama, membangun sikap jujur, misalnya tidak menjiplak. Adagium Latin mengatakan Non scholae sed viate discimus, artinya manusia belajar bukan untuk sekadar memperoleh nilai berupa angka-angka, tetapi manusia belajar untuk hidup. Yang utama adalah nilai-nilai untuk mendukung hidup manusia. "Penjiplak karya orang lain berpotensi melakukan korupsi. Diri sendiri saja dibohongi, apalagi orang lain. Orang-orang seperti ini berbahaya jika kelak menjadi pemimpin," kata Prof Dr Moh Mahfud MD (Kompas.com, 19/02/2010). Kedua, membangun budaya riset. Skripsi adalah bagian dari budaya riset dan merupakan tindakan ilmiah, yakni proses untuk mengembangkan logika dan sintesis. Yang dilihat di sini tidak hanya hasil, tapi juga proses. Untuk itu, mahasiswa perlu dilatih untuk melakukan riset, misalnya dengan melibatkan mereka dalam penelitian dosen atau mengikuti lomba-lomba penelitian ilmiah. Ketiga, membangun kebiasaan menulis. Skripsi adalah karya tulis. Untuk bisa mewujudkannya, dibutuhkan pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan menulis. Untuk itu, mahasiswa perlu dipersiapkan agar memiliki kemampuan dan kebiasaan menulis. Misalnya, dosen memberikan tugas atau ujian dalam bentuk resume, atau makalah, sehingga mahasiswa terbiasa untuk menyampaikan pikiran dan gagasannya secara tertulis. Keempat, menciptakan interaksi dosen-mahasiswa yang proaktif. Penelitian yang dilakukan oleh Barnabas Untung Sudianto (2006) dari UPT Perpustakaan Unika Soegijapranata Semarang menunjukkan, pada satu sisi dosen pembimbing dapat mendukung kelancaran skripsi mahasiswa. Pada sisi yang lain dosen pembimbing pun dapat menjadi hambatan. Hal ini tergantung dari interaksi mahasiswa-dosen pembimbing. Strategi Setelah terbangunnya kultur yang mendukung tumbuhnya tradisi ilmiah-intelektual di kampus, mahasiswa perlu memiliki strategi agar bisa menyelesaikan dan mengerjakan skripsinya dengan baik. Pertama, menjaga semangat (mood). Proses mengerjakan skripsi membutuhkan ketekunan, kekuatan, dan komitmen yang serius. Karena itu, mahasiswa perlu memiliki semangat dan motivasi yang tinggi agar skripsi bisa diselesaikan tepat waktu. Semangat, ketekunan, dan komitmen ini bisa menjadi tolok ukur komitmen mahasiswa di dunia kerja nantinya. Kedua, proaktif dan bersemangat untuk maju. Seorang mahasiswa yang telah menyelesaikan skripsinya menyampaikan kiatnya: “Kalau tidak bisa melaju kencang, berlarilah. Kalau tidak bisa berlari, berjalan cepat, atau merangkak kalau perlu. Yang pasti, jangan cuma berkutat di bab yang itu-itu aja. Kerjakan apapun yang bisa dilakukan lebih dulu, dan bahannya tersedia lebih dulu.” (Resi Andriani, 2011) Ketiga, passion atau memaknai saat-saat menulis skripsi sebagai hal yang menyenangkan. Misalnya, menikmati saat-saat membaca, menulis, dan menemukan hal baru. Mungkin, skripsi Anda nanti tidak dibaca orang. Tapi percayalah, setelah menyelesaikannya, Anda menjadi master, expert pada bidang yang Anda tulis. Jika kita menemukan kesenangan ketika melakukan sesuatu, maka tidak ada perasaan berat atau menganggapnya sebagai beban. Keempat, banyak bertanya, berdiskusi misalnya dalam kelompok. Seringkali mahasiswa menemukan atau mengalami kebingungan. Jika ini terjadi, jalan keluarnya adalah mencari orang untuk diajak berdiskusi. Tidak harus dengan dosen pembimbing, bisa juga dengan dosen lain, teman kuliah atau berdiskusi dengan teman-teman ‘seperjuangan’, yakni mereka yang juga sedang mengerjakan skripsi. Kelima, fokus, konsentrasi. Berdasarkan pengalaman, skripsi tidak bisa menjadi pekerjaan sambilan. Karena itu, jika mahasiswa punya aktivitas atau pekerjaan lain yang menyita waktu dan perhatian, lepaskanlah dulu. Skripsi membutuhkan fokus atau konsentrasi. Skripsi adalah mahkota bagi mahasiswa sekaligus barometer kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Jika para pemangku kepentingan (dosen, mahasiswa, pejabat yang berwenang) yang berhubungan dengan skripsi bisa bertanggung jawab dan mengelola serta menangani skripsi dengan baik, ini menjadi jaminan kualitas dan intelektualitas mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi. Namun, jika mahkotanya rusak, berantakan, rasanya kita tidak bisa berharap banyak tentang kualitas pendidikan tinggi kita. Jangan tunggu nanti, tapi mulailah saat ini. Yohanes Widodo, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dimuat di Harian Bernas Jogja, Selasa, 12 Juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun