Tak pernah terlintas dalam pikiranku bakal berjumpa kembali dengan Magdalena Puspitasari, wanita asal Manado, di sebuah pusat perbelanjaan.
Sungguh luar biasa! lima tahun sudah rentang waktu perpisahan namun dia masih seperti yang dulu. Bahkan terlihat lebih seksi meskipun telah melahirkan dua bocah cantik-cantik, hasil perkawinannya dengan Raymond. Body guitar Spanyol-nya dan rambut yang disasak hingga sebahu adalah paduan yang koheren dengan warna kulitnya yang putih bersih. Serta bibir sensualnya yang dilapisi lipstik warna merah muda itu, mengingatkan aku pada seorang pedangdut wanita, Lilis Karlina, yang selalu menggoda dalam setiap penampilannya. Lena – demikian aku memanggilnya – memang sejak dulu sangat pandai menjaga penampilan dan tubuhnya.
Diawali perjumpaan yang secara kebetulan itu akhirnya berlanjut di sebuah cafe, tempat yang sering kami singgahi sewaktu masa kuliah. Di dalam café itu, kami pun terlibat obrolan panjang; ceritera ngalor-ngidul. Hingga saat menjelang berpisah, kutanyakan padanya tentang keadaan Raymond, suaminya. Aku sangat menyesal, ternyata pertanyaanku membuat Lena terlihat seperti menahan duka yang mendalam. Meski hanya sekilas, aku menangkap perubahan dratis pada wajahnya. Muram ! tak seriang saat awal perjumpaan tadi.
“Hampir malam, Ton. Kita sudahi dulu, yach. Kita masih bisa bertemu lagi ‘kan? Oh, ya ! aku minta nomor HP-mu, dan ini kartu namaku,“ ucapnya kemudian, mengakhiri perjumpaan kami kala itu.
Hari-hari setelah perjumpaan dengan Lena, sikap dan pikiranku mengalami inkonsisten. Dalam artian, porsi waktu yang semestinya untuk bekerja nyatanya ku habiskan untuk bermenung dan berfikir.
Ah, bagaimana bisa bekerja dengan tenang, sementara wanita yang hampir menjadi pendamping hidupku kini kembali hadir, membawa misteri di dalam rumah tangganya. Misteri, mungkin kata yang paling tepat bila kuhubungkan dengan sikap Lena, yang mendadak saja berubah murung sewaktu kutanyakan tentang suaminya; Terkesan disembunyikan dan tak ingin dibahas.
Pada perjumpaan kami selanjutnya, kali ini Lena tidak melibatkan kedua putrinya. Dengan dibalut celana Jeans dan T-shirt ketatnya, aku sempat terkesima melihat penampilan Lena ‘bak seorang mahasiswi. Kamuflase yang sempurna !
Di sudut cafe itu, Lena lebih banyak bercerita, sementara aku masih dalam posisi sebagai pendengar setia.
Dengan wajah sumringah dia menceritakan seputar keindahan Pulau Dewata; tentang lautnya, turis-turis asing, adat istiadatnya hingga kaum Nobra, diceritakan secara detail. Benar-benar tidak ada peluang dan kesempatan bagiku untuk menyinggung masalah pribadinya, terutama tentang suaminya. Sebaliknya, Lena justru bertanya kepadaku tentang alasan mengapa belum juga menikah. Pertanyaan yang mudah namun sulit dijelaskan.
“Mungkin belum ketemu jodoh,” jawabku singkat. Dia seperti tak yakin dengan jawabanku.
“Nonsens ! kamu yang mungkin terlalu selektif, atau ......” Lena tak segera melanjutkan ucapannya, dibiarkannya mengambang. Aku jadi penasaran ketika dia malah asyik menyedot juice alpokatnya.
“Atau kenapa? kok tiba-tiba diam,” kini aku yang balas bertanya.
“Aku takut salah menilai,” sahutnya dibumbui senyum kecil.
“No problem ! salah-benar itu tergantung dari cara kita menyikapi sebuah persoalan.”
“Aku hanya ingin katakan, mungkin kamu terlalu introvert semenjak gagal menikahiku.”
“Oh, begitu toh penilaian kamu,” aku cuma manggut-manggut. Padahal, dalam hati aku berteriak : You’re all right ! kura-kura dalam perahu, sudah tahu bertanya pula.
“Tidak salah ‘kan penilaianku?” sergahnya seakan mengetahui isi kepalaku.
“Empat puluh persen ‘iya’, selebihnya aku memprioritaskan dulu masalah internal keluarga, membiayai kuliah adik, misalnya.”
“Beruntunglah adik yang punya kakak seperti kamu,” komentar Lena memuji. Sanjungan sebagus apapun, sulit rasanya mengobati hati ini. Sakit hati setelah kusadari wanita yang berada didepan mataku, akhirnya menikah juga dengan pria pilihan orang tuanya.
“By the way, .... aku mungkin tidak lama lagi di Jakarta ini. Aku akan kembali ke Bali,” kata Lena memecahkan kebisuan setelah kami saling diam.
“Kapan?” aku terkejut.
“Minggu ini, barang kali.”
“Jadi, ..... ini pertemuan terakhir?” suaraku tersekat, rasa takut kehilangan dirinya tiba-tiba menyergap relung hatiku.
“Tergantung dari cara kamu menyikapinya, Ton.”
Aku menerka-nerka arah dan maksud kalimat yang diucapkan Lena. Sayangnya, aku gagal menemukan maknanya. Sama gagalnya mengorek sisi pribadi kehidupan rumah tangganya.
Di penghujung perjumpaan itu, ia memintaku untuk melakukan napak tilas; jalan-jalan menelusuri taman kampus, terus ke perpustakaan, nonton drama yang digelar anak-anak sastra, dan kembali ke cafe Ami, sebuah kantin kampus yang terkenal dengan bakso uratnya.
Aku pulang ke rumah, namun bayang-bayang Lena seolah masih berada di pelupuk mata. Esok, lusa atau untuk seterusnya, sosok wanita itu mungkin tidak dapat kujumpai lagi di kota kecil ini, Depok.
Kusesali diri, tak seharusnya kubiarkan dia pulang sementara hatiku masih terganjal oleh misteri rumah tangganya. Hm, mungkinkah dia lagi punya masalah dengan Raymond, suaminya?
Hari berikutnya, melalui sms kucoba layangkan permasalahan itu. Sia-sia ! tak ada respon. Kalau kuhubungi melalui ponsel, apa signifikansinya? toh mungkin dia sudah berada di Bali.
Akhirnya kuputuskan melupakan saja semua yang telah kualami itu, sebagaimana aku telah melupakan dirinya lima tahun silam.
“Belakangan ini, kuperhatikan kau sering melamun, Ton. Boleh kutahu masalahmu?” Aku terkesiap mendengar teguran Johan, dengan dialek Batak-nya yang sangat kental, duduk dihadapanku. Semula aku tak ingin sharring dengan teman sejawatku, tapi beban emosi ini terlanjur menggunung hingga tak sanggup kupikul lagi.
“Secara implisit, wanita itu sebenarnya sedang butuh perlindungan. Sengaja dia sembunyikan masalah rumah tangganya itu, Ton! hanya sekadar trik belaka,” begitu komentarnya usai kuutarakan uneg-uneg ini.
“Aku yakin,” Johan melanjutkan lagi, dalam dialek Batak-nya yang kian kental saja, “pasti ada yang tidak beres dengan suaminya. Yah, mungkin saja punya wanita simpanan. Kemungkinan itu bisa saja terjadi, toh?” Kengerian mendadak membayangi pikiranku sekiranya dugaan Johan itu ternyata benar.
“Kalau aku jadi kau,” Johan menjulurkan kepalanya mendekati pinggiran daun telingaku bermaksud membisik, tapi dialek Batak-nya itu benar-benar tak ketolongan lagi. “Ini kesempatan bagus, Ton! kejar dia meski harus menyebrangi lautan.”
Haruskan seperti itu? aku bukanlah tipe seorang pria pemburu cinta, yang mengorbankan segalanya demi sebuah ambisi. Kalaupun akhirnya aku dapat menjalin asmara dengan Lena, itu semata-mata faktor rutinitas dan intensitas saat menuntut ilmu di bangku kuliah.
Selagi aku mendengar wejangan teman sejawatku, ponsel di saku berdering. Rupanya aku mendapat sms dari Lena. Surprise ! segera ku tekan tuts massage-nya :
“S’belum ke bandara aku ttp srt tuk kamu di kantin Ami.”
Surat? ... tanpa pikir panjang, sepulang kerja aku segera meluncur ke tempat yang sering kami jadikan sebagai ajang pertemuan. Pemilik kantin itu sempat memberitahu bahwa surat itu diterimanya pagi tadi.
Amplop besar warna coklat itu baru aku buka setelah tiba di rumah. Selain kutemukan secarik kertas tulisan tangan Lena, kudapatkan pula guntingan koran lokal.
Memperhatikan gambar foto dan berita yang menghias koran itu, memberikan aku pada sebuah penjelasan : Raymond tewas bersama puluhan korban lainnya akibat bom yang dilakukan oleh aksi teroris, disebuah cafe tempat ia bekerja.
Aku tak menyangka, peristiwa yang menghebohkan dan sering kutonton lewat telivisi itu ternyata telah merenggut nyawa seorang pria; suami dari wanita yang pernah kucintai. Hm, barulah kusadari mengapa Lena begitu menampakkan kesedihannya sewaktu kutanyakan tentang suaminya.
Selanjutnya, pandanganku jatuh pada sepucuk surat. Dengan hati berdebar, kubaca surat itu :
“ Tony, kuanggap kau telah mengerti dengan keadaan ku sekarang. Sengaja aku tak berterus terang mengenai musibah itu. Hal ini kulakukan karena aku tak ingin merusak suasana kebersamaan kita. Aku pun ingin nikmati hari-hari sebagaimana layaknya kunikmati hidup ini; tanpa mesti ku toreh kembali pena tragedi dalam lembar hidupku. Sungguh aku beruntung telah mendapatkan ketenangan batin, bersama orang yang dulu pernah mencintaiku. Biarlah sepotong kangen ini kusimpan, mungkin suatu saat nanti kuperlukan lagi.
Who loses courage loses all ! jika kau punya keberanian, kunanti kedatanganmu di sana.
Salam manis,
Magdalena Puspitasari
Sepanjang malam, aku tak bisa memicingkan mata sekejap pun. Pikiran dan perasaanku melambung jauh menyebrangi lautan, hingga akhirnya mendarat di sebuah pulau, dimana Magdalena sedang menunggu kedatanganku.