Aryanto, S.Pd.
Staf Pengajar SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta
Sebelum Imam naik mimbar dan adzan salat Jumat berkumandang, nampak berjalan seorang anak usia SMP membungkukkan badan melewati barisan jamaah. Tepat di depanku, kulihat dia menghampiri orang tua berbaju putih yang sedang duduk bersila di barisan depan tengah. Tepat di depanku, anak itu memegang pundak orang tua.
Sontak lelaki tua itu menoleh ke belakang ke arah anak tersebut. “Maaf, Pak saya tadi menemukan uang lima puluh ribu di dekat tempat wudu”, kata anak itu lirih sembari memberikan uang kertas berwarna biru. Sontak orang tua berbaju putih pun terkejut dan memandang dengan penuh tanya kepada anak berusia 14 tahun tersebut. Tidak lama kemudian, keluar perkataan dari Bapak itu sembari menerima uang kertas, “Ya, saya selaku takmir masjid menerima uang ini dan akan saya umumkan setelah salat Jumat, makasih ya dik.” “Iya, Pak. Sama-sama,” jawab anak itu lirih. Anak itu pun segera merapat ke barisan yang masih kosong untuk melaksanakan salat sunah dua rakaat.
Cerita sekilas ini bukanlah karangan dari penulis, melainkan kenyataan yang didapatkan ketika mengikuti salat Jumat di suatu masjid pada September 2016. Artinya, orisinalitas cerita tidak diragukan lagi. Terlepas dari semua itu, realitas cerita yang bisa kita kaitkan dengan kehidupan kita sekarang ini cukup ironis. Mengapa? Seorang anak yang masih berusia 14 tahun mengembalikan uang yang ditemukan kepada takmir masjid. Uang yang cukup banyak apabila dia mau menggunakan untuk jajan atau keperluan pribadi. Uang yang cukup menggiurkan apabila dia mau menikmati sendiri. Apalagi, di tempat umum. Dan tidak banyak yang mengetahui penemuan uang tersebut. Betapa jujur anak tersebut. Betapa polos anak tersebut. Apakah kejujuran yang dimiliki anak usia SMP dapat kita temukan dalam kehidupan sekarang ini?
Ironi realita kisah di atas jika kita hubungkan dengan permasalahan dalam penyelenggaraan negara. Seperti masih teringat dalam benak kita tentang korupsi Proyek penggandaan Al Quran tahun anggaran 2011 dan 2012 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 27 miliar rupiah. Kasus itu menyeret pejabat bahkan menteri sekalipun.
Kasus korupsi proyek Hambalang dan Wisma atlet yang melibatkan ketua partai, anggota DPR, bahkan menteri juga. Dan yang terbaru tentang kasus korupsi terkait pengadaan impor gula di perusahaan Sumatera Barat yang melibatkan ketua DPD. Salah satu sisi nilai dalam kisah di atas dapat menjadi tamparan bagi para penyelenggara negara yang kurang amanah dan jujur. Namun, salah satu sisi nilai kisah di atas menjadi titik cerah mata air kesejukan bagi masa depan bangsa dan negara.
Memang pembangunan karakter sekarang ini menjadi konsentrasi dalam ranah pendidikan. Kurikulum yang memuat pembentukan karakter menjadi harapan. Kurikulum itu adalah kurikulum 2013. Namun, kini kurikulum 2013 tengah digarap dalam percobaan implementasi di sekolah induk. Belum diterapkan di semua sekolah. Padahal, penanaman sikap spiritualitas, religius, kejujuran, sikap toleransi, pengetahuan, dan keterampilan mendesak diterapkan seiring dengan berbagai permasalahan moralitas bangsa.
Wacana fullday school yang digulirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Muhadjir Effendy patut juga dipertimbangkan. Menurut Pak Menteri, alasan gagasan sistem fullday untuk pendidikan dasar (SD dan SMP) baik negeri maupun swasta adalah agar anak tidak sendiri ketika orang tua masih bekerja dan anak akan terbangun karakter serta tidak menjadi liar ketika di luar sekolah (Kompas, 8 Agustus 2016). Kata kunci yang disampaikan Pak Menteri adalah pembangunan karakter.
Menurut penulis, wacana fullday school ingin memberikan ruang yang luas bagi sekolah untuk mendidik siswa dalam penanaman nilai dan pembiasaan penerapan nilai dalam komunitas masyarakat sekolah. Habituasi nilai dan karakter di sekolah diharapkan mampu berimbas di luar sekolah (kehidupan masyarakat). Selain itu, sekolah juga leluasa memberikan pengajaran pengetahuan dan keterampilan terhadap siswa. Hal ini positif bagi kemajuan pendidikan nasional kita.
Kisah kejujuran anak di atas merupakan titik cerah masa depan bangsa. Penulis menceritakan kisah tersebut berdasarkan pengalaman di salah satu sekolah swasta unggul di Kottabarat yang menggunakan pendekatan fullday school. Penanaman nilai dan karakter mulia berdasarkan Al Quran dan Assunah yang dihabituasi dalam komunitas sosial di sekolah dapat berimbas dalam karakter keseharian siswa di masyarakat. Karakter yang baik lebih sempurna didukung pengetahuan dan keterampilan yang unggul. Semoga dapat membangun peradaban bangsa yang lebih mulia dan unggul.