Pada sore, 28 September 2018, kota Palu diguncang gempa bumi. Gempa bumi yang mengguncang kota Palu memiliki skala yang cukup besar, yaitu 7,4 skala richter. Namun, apa yang terjadi setelah gempa bumi tersebut justru lebih mengerikan lagi.
Tak lama setelah gempa bumi, BMKG mengeluarkan peringatan akan terjadinya tsunami. Namun, peringatan ini kemudian dicabut karena tak ada tsunami terdeteksi.
 Ternyata, pencabutan peringatan tsunami ini merupakan sebuah kesalahan fatal.  Sensor pendeteksi tsunami yang berada di sekitar Palu dan Donggala rusak akibat gempa bumi. Kerusakan sensor pendeteksi tsunami di wilayah itu menyebabkan peringatan tsunami dicabut. Namun pada akhirnya, tsunami tetap terjadi di wilayah Palu dan Donggala.
Kurang dari 10 menit setelah gempa, tsunami menyapu Kota Palu dan Kabupaten Donggala dengan ketinggian 5 sampai 6 meter, bahkan mencapai ketinggian 11,3 meter di Desa Tondo, Palu Tmur . Hal ini mengejutkan para peneliti, sebab, gempa yang terjadi pada saat itu terjadi akibat longsoran bawah laut, yang harusnya mengakibatkan tsunami hanya memiliki ketinggian 2-5 meter saja. Akibat gempa bumi dan tsunami, Kota Palu mengalami kejadian likuifaksi, kejadian dimana permukaan tanah bergerak dan ambles akibat bercampurnya tanah dengan air.
Dampak yang disebabkan oleh gempa dan tsunami ini sangat mengerikan. Lebh dari 70.000 rumah rusak, 4.340 orang diperkirakan meninggal, dan 10.000 orang mengalami cedera dimana 4.612 orang diantaranya mengalami cedera berat. Pasokan listrik dan jaringan komunikasi putus sehingga wilayah yang terdampak seperti terputus koneksinya dari dunia luar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H