Secara pribadi, saya merasa "tidak heran" dengan kehadiran "bom buku" yang tumbuh seperti jamur di musim penghujan. Bagi saya, hujan "bom" itu justru menjelaskan kepada kita tentang banyak hal yang membutuhkan penjelasan dari pihak-pihak yang mestinya kompeten untuk menjelaskan --sama sekali-- tidak punya penjelasan. Apakah paket bom buku --yang kemudian melahirkan paranoid kepada semua jenis paket-- itu merupakan sebuah "ancaman serius" atau sekadar pekerjaan orang-orang yang tidak punya pekerjaan, kita akan tahu jawabannya sebentar lagi. Ya sebentar lagi, isu-isu yang sepertinya harus ditanggapi serius itu, secara serius mesti akan "menguap" dengan sendirinya.Dugaan banyak pengamat dan komentator di televisi dan media massa lain, yang menyebut kelompok ini dan itu yang bertanggung jawab pada aksi paket bom itu juga akan reda dengan sendirinya. Bukankah kita memang sering terjebak pada "menyelesaikan masalah dengan masalah baru"??
Secara kultural, bom bukanlah produk asli budaya kita, dan patut jadi catatan bersama, masyarakat kita bukan tipikal orang yang suka "lempar batu sembunyi tangan", tanpa tanggung jawab yang jelas. Masyarakat kita adalah tipikal ksatria yang "berani berbuat & berani bertanggung jawab" --tentu perkecualian untuk yang tidak seperti itu.Siapa saja yang terlatih untuk merakit dan meledakkan bom, juga berapa banyak mereka, kita semua mungkin bisa menghitungnya. Jadi tidak perlulah kita memperpanjang teror bom ini sebagai bom teror, karena kita tahu siapa ahlinya.
Pada posisi ini, masyarakat (sebagian) mungkin merasa was-was dan gelisah dengan maraknya bom teror tersebut. Akan tetapi kita juga tahu bahwa tidak mungkin semua (masyarakat) mudah dikecoh dengan isu-isu yang tidak pasti dan memang targetnya menghadirkan ketidakpastian tersebut.Teror bom dan bom teror, anggap saja sebagai selingan hiburan saat kita bosan selalu menyaksikan sinetron yang menampilkan tokoh dan cerita "yang itu-itu saja". Atau sekadar selingan saat kita mulai muak dengan tumpang tindih kepentingan politik orang-orang yang sering abai dengan kaidah dan etika politik itu.
Lebih baik kita tetap dengan pilihan kita dan sungguh-sungguh menjalankan profesi tanpa harus menebar bom dan teror. Yang sekolah, sekolah saja. Yang kuliah, kuliah saja. Yang bekerja, bekerja saja yang suka kirim bom ya kirim saja. Dan yang senang menikmati dirinya sebagai korban, selamat menikmati untuk selalu dikorbankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H