Jika konsep budaya dimaknai sebagai praktik kehidupan yang dimaksudkan sebagai upaya menjadikan kita lebih cerdas memetakan hidup, maka membaca adalah bagian tak terpisahkan dari upaya kita menjadi membudaya. Dalam pandangan teori kritis dan budaya, membaca adalah sebuah fenomena kultural. Cavallaro (2004) menuliskan bahwa membaca bukan semata-mata tindakan yang kita kerjakan ketika kita menyimak dengan teliti sebuah teks tertulis. Pada kenyataannya membaca adalah sebuah proses di mana kita terlibat setiap saat, sebagaimana kita berusaha mencoba memahami dunia dan menafsirkan tanda yang mengelilingi kita. Dalam pandangan ini, membaca merupakan salah satu mekanisme paling vital di mana keberadaan sosial kita bergantung.
Saat membaca hanya dimaknai sebagai sebuah aktivitas menyimak teks tertulis, maka ukuran-ukuran statistik –seperti jumlah buku yang terjual dalam setahun, daftar kunjungan perpustakaan, anggaran belanja buku, frekuensi pameran buku, langganan majalah-tabloid atau koran—menjadi data-data yang cukup mengerikan, untuk tidak mengatakan bahwa orang Indonesia termasuk masyarakat yang malas membaca.
Dunia secara keseluruhan, demikian Cavallaro menuliskan, dapat dipahami secara metaforis sebagai sebuah teks. Bukan teks yang linear dan naratif, bukan pula teks dengan alur yang transparan –melainkan, sebuah carut-marut cerita di mana satu aliran putaran yang konstan kembali pada dirinya sendiri. Dengan demikian benar adanya bahwa membaca adalah tugas menafsirkan teks yang carut marut tersebut –sesuai dengan frame of reference (kerangka berpikir) dan field of experience (cakupan pengalaman) kita. Pada akhirnya, parameter keberhasilan pembacaan itu bukan pada benar-salah dalam menafsirkan teks, melainkan bagaimana hasil menafsir tersebut dapat menjadi teks bagi pihak lain untuk ditafsirkan kembali.
Membaca iklan politik
Pada pemilihan umum 2009 silam, hampir semua parpol besar (baca: parpol yang kuat secara finansial) dan bakal calon presiden berkampanye dengan beriklan melalui semua saluran media massa yang tersedia –terutama televisi. Hal yang demikian –iklan politik di televisi—sangat mustahil terjadi pada era orde baru. Dalam delapan bulan terakhir masa kampanye, iklan politik di televisi berbaur dengan iklan komersial lainnya, mencoba meraih simpati dan dukungan dari masyarakat pemilih. Peluang belanja iklan politik yang besar ini tentu menghidupkan sektor industri periklanan dan media massa. Iklan politik dikemas dalam berbagai variasi dan model sehingga pilihan-pilihan tersebut meminta keterlibatan konsultan politik dan komunikasi massa. Sejumlah pengamat melihat lembaga survei dan konsultan politik menemukan momentumnya pada tahun politik ini.
Strategi pemasaran politik diarahkan pada berbagai segmen pasar politik yang tersedia, seperti petani, nelayan, buruh, tukang becak, mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga dan masyarakat kelas menengah perkotaan. Media massa dalam berbagai rupa, setiap hari selalu memuat/menayangkan iklan politik yang pada waktu-waktu lampau tidak pernah muncul dengan frekuensi yang demikian aktif. Televisi membuat program acara yang memungkinkan iklan politik masuk ke dalamnya –bahkan sejumlah media melakukan klaim sebagi media (untuk) pemilu.
Melimpah ruahnya program tayangan/liputan dan iklan politik berdampak pada ruang-ruang ‘bebas politik’ yang semakin menyempit. Untuk acara di televisi maka slot waktu untuk program dan iklan politik memangkas program dan iklan reguler yang biasanya hadir sebagai sajian ‘tidak bertendensi’. Untuk berita dan iklan politik di media cetak, jelas memangkas informasi-informasi lain yang biasanya mengisi halaman-halaman tertentu dari media tersebut.
David Ogilvy, sang Bapak Periklanan, sebagai mana dikutip Palupi dan Pambudi (2006) mengatakan bahwa: I do not regard advertising as entertainment or an art form, but as a medium of information. When I write an advertisement, I don’t want you tell me that you find it “creative”. I want you to find it so interesting that you buy the product. Singkat cerita, iklan yang bagus adalah yang mampu menghipnotis audiens untuk membeli produk yang ditawarkan.
Meski dalam konteks yang berbeda, iklan politik tentu saja berpretensi mengajak penonton sebagai konsumen politik untuk melakukan aktivitas politik sebagaimana yang diharapkan dalam iklan tersebut. Melihat iklan politik yang kerap muncul di media massa (televisi terutama), kontestasi politik menjelang Pemilihan Umum (pemilu) 2009, semata-mata masih menempatkan pemilih sebagai konsumen. Dengan demikian masyarakat pemilih (sebagai konsumen) tidak pernah mengetahui –atau dengan sengaja tidak diberitahu—oleh para politisi soal bagaimana proses produksi, distribusi, sirkulasi dan konsumsi produk politik itu dijalankan. Selayaknya memilih dan membeli produk/jasa di pasar, sebagai konsumen kita hanya mengetahui jenis produknya, merek dagangnya, harga pada labelnya dan setelah terjadi kecocokan harga produk/jasa itu kita membayarnya.
Dengan strategi komunikasi politik yang serba bermedia, partai politik (parpol), calon anggota legislatif (caleg), dan calon presiden (capres) menggunakan segenap sumber daya media (massa) untuk membangun popularitas, citra positif dan loyalitas konsumen untuk memilih mereka. Alih-alih memberikan pendidikan politik dan pendidikan pemilih untuk masyarakat konstituennya, para politisi itu malah tampil di media layaknya selebritis: sekadar numpang populer.
Iklan-iklan politik yang berseliweran memenuhi ruang-ruang media semakin menabalkan bahwa politik sekadar komoditas musiman, dan rakyat adalah konsumennya yang ‘harus memilih’. Memaknai fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan golput, yaitu mereka yang “memilih untuk tidak memilih”, pemilih sebagai konsumen tidak lagi punya otoritas untuk membuat dan menentukan pilihan.
Tentang buku ini
Kajian tentang iklan politik televisi di Indonesia memang masih baru, tentu seumur dengan mulai merebaknya iklan politik yang berkembang pasca kekuasaan orde baru. Maka buku ini merupakan satu ikhtiar Akhmad Danial sebagai penulisnya untuk menyediakan referensi sejarah perkembangan iklan politik di televisi Indonesia yang masih langka. Riset ini menegaskan bahwa televisi telah menemukan peran strategisnya dalam konstelasi politik. Televisi, menurut Indra Jaya Piliang telah menggeser peranan organisasi massa dan pergerakan politik di kalangan masyarakat lapisan bawah.
Buku ini menyajikan sejumlah data yang sangat lengkap mengenai sejarah kemunculan iklan politik televisi di tanah air –termasuk di dalamnya sejumlah regulasi yang memungkinkan iklan politik masuk lewat televisi. Contoh-contoh dan bentuk iklan yang dimaksud memang sangat sedikit dan penulisnya lebih banyak mengaduk-aduk sisi politik dan aspek komunikasi. Secara tersamar, Danial mencoba mencampuradukkan antara konsep kampanye dan iklan politik saat dia mencoba menarik akar sejarah iklan politik di televisi dengan larangan pawai dan model kampanye dialogis era orde baru (hlm.149).
Secara tegas, buku ini mengungkap bahwa saat ini ada kecenderungan modernisasi gaya kampanye di Indonesia pascar Orde Baru, termasuk iklan politik televisinya, dicoba dikembangkan dengan format yang cenderung a-historis dan tidak kontekstual. Para stakeholder kampanye pemilu, seperti para kandidat dan biro iklan, terkesan menjiplak dan memindahkan begitu saja gaya kampanye politik Amerika ke Indonesia (hlm. xiii). Meskipun kampanye model Amerika (American style) dirujuk dan menjadi pembahasan utama riset ini, namun pilihan akhirnya menetapkan bahwa iklan politik televisi di Indonesia adalah merupakan proses dari modernisasi kampanye pemilu (hlm.211).
Konon, tidak ada logika yang dapat menjelaskan tentang adanya upaya dari aktor-aktor internasional, khususnya Amerika, dalam mengkreasi sebuah electoral environment lewat bantuan-bantuan pemilu dan pintu-pintu lainnya untuk membuka “pasar”, bagi para electioneer Amerika Serikat, sebagai mana diyakini penganut tesis “Amerikanisasi”. Sayangnya, penulis buku ini memang tidak mencoba untuk membongkar dari mana sumber belajar dan konsep maupun ide gagasan iklan politik televisi itu dikembangkan di Indonesia. Kalau tidak dapat dikatakan ambigu, pemikiran penulisnya menjadi nampak paradoksal, karena pada awal bab pendahuluan, ia mengulas hampir empat halaman, gagasan Denny J.A tentang “Iklan Politik” yang terbit di Gatra 13 April 1996. Padahal waktu itu, Denny J.A tercatat sebagai mahasiswa program doktoral bidang Comparative Politics and Economic Development di Ohio State University Amerika Serika (hlm.1). Penulis menyebut posisi Denny J.A. sekarang sebagai Direktur Lingkar Survei Indonesia (LSI) menjadi “jenderal perang” dalam banyak pemilu di tanah air (hlm.2). Mungkinkah konsep, ide dan gagasan yang dibawa Denny J.A. lewat LSI-nya sama sekali bersih dari American style yang ditolak dalam tesis buku ini?
Secara keseluruhan buku ini ingin menegaskan bahwa televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi politik di tanah air. Sebagai sebuah tesis politik, buku ini memang kental dengan suasana komunikasi politik –dan secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa iklan politik di televisi adalah bagian dari modernisasi komunikasi politik.
Gagasan tentang “modernisasi” kampanye politik dalam iklan politik di televisi dipertentangkan dengan “amerikanisasi” dan globalisasi. Dengan berbagai argumentasi, terutama melihat sejarah kelahiran iklan politik pertama dalam sejarah pemilu di Indonesia, Akhmad Danial, penulis buku ini, lebih bersepakat bahwa bentuk kampanye melalui iklan politik di televisi adalah sebuah perubahan dari kampanye tradisional menjadi kampanye yang lebih modern. Iklan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bertajuk “ Saya Mendengar Indonesia Menyanyi”(1998) digarap oleh Konsultan Kehumasan Soedarto & Noeradi, salah satu anak perusahaan biro iklan raksasa Matari Inc., diklaim Danial sebagai iklan politik televisi pertama di Indonesia.
Sejak saat itu, kecenderungan partai politik menggunakan jasa konsultan komunikasi dan biro iklan untuk mengerjakan materi kampanye politik secara profesional semakin meningkat. Tercatat dalam tulisan ini, pada pemilu 1999 dua parpol menggunakan konsultan komunikasi dan enam parpol menggunakan jasa biro iklan. Belanja iklan parpol pada pemilu 1999, merujuk catatan AC Nielsen mencapai Rp 33, 663 miliar (hlm. 174-175)
Dengan kekayaan pengalaman penulisnya sebagai wartawan pada sejumlah surat kabar, buku ini dituturkan dengan data yang komprehensif –dengan gaya bahasa yang mengalir secara naratif historis. Meskipun demikian, kita juga dapat membaca bagian-bagian tertentu secara terlepas dengan tidak mengurangi bobot kualitas buku ini secara lengkap.
Mereka yang bergelut dengan dunia periklanan, politik, komunikasi, sosial, budaya dan media patut memberi perhatian pada buku ini. Karena, selain menjadi buku yang cukup langka di antara sedikit kajian tentang sejarah perkembangan iklan politik di televisi Indonesia, sumber penulisan buku ini melibatkan banyak pihak yang cukup kompeten di bidangnya. Selain sumber tertulis berupa buku, artikel, berita dan jurnal, buku ini diperkaya dengan wawancara dengan sejumlah calon presiden, ketua partai politik, manajemen televisi, biro iklan, Anggota DPR RI, pemerintahan, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pengamat media dan pengamat pemilu.
Kritik
Iklan adalah nafas hidup media. Karena iklan pula media menjadi hidup di dua sisi yang secara normatif tidak dapat disatukan, yaitu sisi cita-cita media yang berpihak pada masyarakat luas lewat berita-beritanya dan sisi hukum pasar, bahwa media hanya dapat bertahan hidup jika ada yang membiayai –dan itu adalah iklan.
Serupa dengan iklan pada umumnya, iklan politik dibuat dalam rangka menembak sasaran masyarakat sebagai konsumen dengan tujuan-tujuan tertentu seperti sosialisasi, membentuk segmentasi pasar tertentu, pembangunan citra, positioning maupun untuk meneguhkan loyalitas. Dari segi kemasan, iklan politik dibungkus dengan strategi hard selling maupun soft selling. Hard selling dimaksudkan sebagai iklan yang berisi ajakan langsung untuk memilih tanda gambar, partai, nama calon legislatif atau calon presiden tertentu. Soft selling biasanya dikemas lebih elegan dengan tekanan pada layanan masyarakat atau legitimasi hasil survei atau laporan lembaga yang berkutat pada statistik ekonomi dan politik. Bisa juga iklan dikemas seperti sebuah berita investigasi maupun laporan panjang.
Marshall McLuhan dalam Understanding Media: The Extensions of Man (1964) menuliskan bahwa the medium is the message –media selalu membawa pesannya sendiri. Katanya, karakteristik semua media menjelaskan bahwa “konten” dari setiap media selalu dimaknai sebagai media yang lain. Poin yang harus digarisbawahi dari “media adalah pesan”, kata Mc Luhan adalah karena media yang membentuk dan mengendalikan ukuran dan bentuk asosiasi dan tindakan manusia.
Sepaham dengan Mc Luhan, Baudrillard mengatakan fungsi TV dan media massa adalah menghalangi tanggapan, memprivatisasi individul menempatkanmereka dalam semesta simulacara di mana yang ditonton dan yang nyata tidak mungkin lagi dibedakan (Sarup, 2007). Lantas dapatkah kita (hanya) percaya pada iklan politik yang lalu lalang di antara program tayangan dan iklan komersial televisi, alih-alih menjadi referensi dalam memutuskan pilihan pada hari pemungutan suara? Iklan, demikian Baudrillard, memberikan pada individu rasa kebebasan yang ilusif. Di masyarakat media dan konsumsi, orang terjebak dalam permainan citra, simulacra, yang semakin tidak tidak berhubungan dengan yang diluar, “realitas” eksternal. Pada kenyataannya, menurut Baudrillard, kita hidup di dunia simulacra di mana citra atau penanda suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman dan pengetahuan langsung rujukan atau petandanya.
Merujuk apa yang diungkap Baudrillard, iklan politik, sejatinya merupakan permainan citra, dan kita perlu bertanya, apakah yang muncul pada iklan politik itu nyata? Dalam perspektif ekonomi politik yang diusung para penganut neo-marxian, kita patut bertanya siapa yang diuntungkan oleh iklan politik itu? Adakah aspek keadilan/ketidakadilan iklan politik tersebut bagi –terutama masyarakat sebagai konsumen iklan? Sebenarnya memang akan lebih kuat analisisnya jika buku tersebut mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bukan semata memperdebatkan apakah iklan politik di televisi Indonesia itu bentuk modernisasi, globalisasi atau amerikanisasi. Bagaimana pun, buku tersebut patut mendapat apresiasi lebih karena telah merintis jalan baru dalam studi iklan televisi –khususnya iklan politik.
Sejatinya, dengan menggunakan perspektif ekonomi politik media, buku ini dapat membongkar lebih dalam tentang praktik-praktik ekonomi politik di balik kehadiran iklan politik televisi di Indonesia. Dengan begitu, buku ini juga dapat menjadi penuntun kita membaca hingar-bingar iklan politik menjelang pemilu 2009 ini tanpa harus terjebak di dalamnya. Lebih jauh, perspektif kritis terhadap praktik iklan politik di televisi lebih mencukupi dalam menjelaskan relasi fenomena korupsi di tingkat elit politik dengan praktik kampanye politik biaya tinggi, seperti halnya anggaran untuk iklan politik di televisi.
Bukankah televisi memperlakukan sejumlah iklan politik yang ditayangkan sama dengan iklan komersial lainnya? Lantas bagaimana partai politik, calon anggota legislatif maupun calon presiden mempersepsikan biaya besar yang dikeluarkan untuk membayar iklan politik di televisi –apakah sebagai investasi atau sekadar sedekah politik? Dalam perspektif posmodernisme, Maraknya iklan politik di televisi menjelaskan tesis Sarup (2007) bahwa, apa yang dipandang Marx sebagai bagian modal nonesensial, seperti iklan, media, informasi dan jaringan komunikasi, (telah) berubah menjadi bagian “esensial”. Ide ini menegaskan gagasan Danial bahwa iklan (politik) di televisi, saat ini benar-benar telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi dan politik.
Akhirnya, buku ini menjadi layak dibaca bagi mereka yang bergelut dengan dunia politik Indonesia kontemporer maupun mereka yang bergiat dalam ranah periklanan dan televisi. Logikanya, agar kita tidak menjadi ahistoris dengan konstelasi politik Indonesia dewasa ini, alih-alih mampu membangun iklan politik yang benar-benar menjadi media edukasi dan transformasi politik. Banyaknya iklan partai politik yang muncul di televisi semakin menegaskan bahwa politik layaknya komoditas konsumsi yang saling bersaing memperebutkan pangsa pasar yang bernama masyarakat pemilih. Apakah pemilih menjadi lebih diuntungkan dengan adanya iklan politik di televisi? Ini perkara lain yang membutuhkan diskusi lebih komprehensif. Selamat membaca.[]
Judul: Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru
Penulis: Akhmad Danial
Editor: Ahmala Arifin
Penerbit: LkiS Yogyakarta, 2009
Tebal: xxxiv + 264 halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H