I
Suatu ketika, di sebuah kota di Korea
nun jauh di sana
Seorang anak gadis, lima belas tahun usianya
meminta uang pada ayahnya
"Untuk apa?" tanya sang Papa
"Untuk menambahi biaya
tiket konser Afgan, artis idola dari Indonesia.
Sebab aku sudah nabung tiga bulan lamanya
namun ternyata masih kurang jumlahnya."
"Si Afgan ini, sebegitu kerennya-kah dia?"
Si Papa bertanya pada puterinya.
"Tentu saja Papa, suaranya bagus, dan tampan pula."
"Baiklah," Papa akhirnya mengalah.
"besok akan Papa tambahi uang tabungan tiga bulanmu itu."
II
Di lain hari si Papa mendapati sang puteri
Sedang memakan makanan yang asingnya tak terperi.
Dibungkus kertas coklat, ada nasi
bersama lauk dan aneka isi
"Apa itu, Nak?" tanya Papa dengan herannya
"Ini namanya 'Nasi Rames' Pa, makanan Indonesia."
"Dibuat dari apa?
"Nasi yang dicampur lauk beraneka."
"Bukankah makanan khas kita, 'Bibimbap' juga sama saja?"
"Beda Pa, 'Bibimbap' kuno dan tak ada keren-kerennya.
Kalau yang ini sedang jadi tren di antara kami anak muda."
"Kalau yang itu apa namanya? Daging yang ditusuk bambu lalu dipanggang."
"Itu 'Sate' sebutannya. Nikmatnya buat kita serasa terbang."
Dalam hati sang Papa bicara sendiri...
"Buatku jauh lebih enak 'Bulgogi'..."
III
Seminggu selanjutnya, sang Papa melihat di pintu
kamar tidur anaknya ada tulisan berbentuk aneh dan lucu.
Seperti cacing yang sedang berguling-guling.
Lalu sorenya, ia tanyakan pada puteri tunggalnya
"Nak, tulisan apa itu? Yang kamu tulis di pintu kamarmu."
"Oh, itu aksara Jawa, dari Indonesia, namanya Hanacaraka."
"Apa yang kamu tulis di situ?"
"Sederhana. Aku cuma tulis 'Aku cinta Korea'..."
"Kenapa tak pakai Hangul?"
"Papa, Hangul itu sudah jadul. Hanacaraka itu gaul."
IV
Pagi berikutnya, di Minggu pagi
si Papa heran mendengar cerita anak gadisnya
yang ingin mencoklatkan kulitnya
'Tanning' bahasa Inggrisnya
"Memangnya kulitmu itu kenapa?"
"Ih Papa, coba lihat kulit kita orang Korea."
"Pucat, jelek sekali tampaknya.
Beda dengan kulit orang-orang Indonesia.
Mereka hitam manis nan eksotis."
Si Papa kemudian merenung amat lama.
Terheran-heran ia,
bagaimana sebuah negeri nun jauh di sana
bisa membuat puterinya
sebegitu tergila-gila
dan menjadi lupa
pada akar budayanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H