Mohon tunggu...
Andrie Prasetyo
Andrie Prasetyo Mohon Tunggu... -

Muslim | English Teacher | Longlife Learner | Entrepreneurship Enthusiast | Blogger

Selanjutnya

Tutup

Money

Kita Adalah Bangsa yang Dijajah dengan Gembira

10 Juni 2013   16:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:14 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"You take the blue pill, the story ends, you wake up in your bed and believe whatever you want to believe. You take the red pill, you stay in Wonderland, and I show you how deep the rabbit hole goes."

--Morpheus, The Matrix

Ketika SD, kita semua pasti pernah mendapatkan pelajaran sejarah mengenai kolonialisme alias penjajahan. Ada berbagai bangsa dari Eropa yang memperebutkan kekayaan alam Indonesia. Sebut saja nama Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Ada dua jenis penjajah yang dahulu diperbandingkan guru saya. Tipe pertama, tipe Belanda yang menjajah dengan cara mengeksploitasi habis-habisan SDA negeri jajahan, lalu mengangkutnya ke negeri penguasa--menyisakan penderitaan, kebodohan, dan kemiskinan. Kalaupun si negeri penjajah memberikan pendidikan kepada jajahannya, itu terbatas pada golongan priyayi saja yang kemudian patuh habis-habisan padanya. Rakyat negeri jajahan dibiarkan bodoh, agar mereka tidak sadar dan tak bisa membela diri. Tipe kedua adalah tipe Inggris. Ia menjajah, mengeksploitasi pula SDA negeri jajahannya. Yang beda, si penjajah yang satu ini membangun perekonomian negeri jajahannya. Sesuatu yang sepintas baik, sehingga beberapa teman saya saat itu berkomentar kurang lebih seperti ini, "Waah... Enak dong Malaysia dijajah sama Inggris!" Yang saat itu kami belum tahu adalah ternyata ada udang di balik batu. Tujuan Inggris sebetulnya adalah menjadikan negeri-negeri jajahan itu sebagai tempat memasarkan produk-produknya (yang notabene diproduksi dengan bahan baku yang diambil dari negeri-negeri jajahan juga.) Indonesia, secara de jure sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945 (sungguhpun Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949). Namun, benarkah kita sungguh-sungguh merdeka? Kalau kita mau sungguh-sungguh menelaah dan jujur pada diri sendiri, kita belum merdeka, lebih-lebih di bidang ekonomi. Sumber daya alam kita yang tinggi nilainya rata-rata dikuasai asing. Minyak, gas, logam mulia. Penduduk asli daerah yang harusnya paling menikmati pun, tak dapat apa-apa. Tak heran mereka meradang, sebagian merasa tak ada gunanya lagi berpayung naungan NKRI. Kebutuhan yang canggih dan rumit macam pesawat terbang, mobil, hingga laptop, kita lebih sreg kalau membeli produk asing. Sebetulnya ada sih satu dua merek lokal, hanya saja kita suka meremehkan kemampuan bangsa sendiri. Padahal menurut sejarah, sebelum era kejayaan Sony di 1980-an dengan Walkman-nya yang fenomenal, frase "Made in Japan" sempat identik dengan "peniru" dan "murahan". Namun lama kelamaan, industri Jepang berhasil menunjukkan kualitasnya dan diakui sebagai salah satu raja teknologi dunia. Hal yang sama saat ini sedang terjadi dengan merek-merek Cungkow alias buatan China. Kalau kita berjalan ke warung dekat rumah tuk memberi barang kebutuhan kita, perhatikanlah label-labelnya sebentar saja. Produk-produk yang sering dianggap remeh-temeh macam sampo, sabun mandi, pasta gigi, sambal sachetan dan air minum dalam kemasan, (hampir) semuanya sudah produk asing. Kalau tak impor, perusahaan pembuatnya sudah diakuisisi perusahaan multinasional. Yang lebih menggelikan--sekaligus mengerikan--lagi adalah produk pangan khas Indonesia macam tahu dan tempe pun napasnya tergantung belas kasihan orang asing, sebab kedelai yang dipakai membuatnya harus impor dari negeri tuan kulit putih nan jauh di sana. Ada satu cara, sebetulnya supaya kita bisa merdeka, mandiri, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Intinya adalah menggalakkan semangat berwirausaha dikalangan pemuda Indonesia, lebih-lebih yang berkesempatan mengecap pendidikan tinggi. Mereka-mereka ini, yang menyandang satu-dua singkatan di belakang namanya, atau sedang dalam proses memperjuangkannya, adalah orang-orang yang sangat beruntung. Hanya sekitar dua persen, ya, DUA PERSEN saja dari total populasi bangsa ini yang menikmati kesempatan itu. Ada utang sejarah dan utang peradaban yang harus mereka bayar. Generasi-generasi pendahulu bangsa ini, yang mengecap perguruan tinggi, dan yang menjadi wirausaha, merekalah yang menjadi katalisator perubahan. Ada seorang insinyur yang panggilan jiwanya lebih dari sekedar bermain aman, merancang gedung, dan menerima gaji. Panggilan jiwanya adalah menggerakkan bangsanya. Kita mengenalnya dengan nama Soekarno. Kita juga mengenal Haji Samanhudi dengan Sarikat Dagang Islam-nya, sebuah gerakan berskala nasional yang didirikan di atas semangat kemandirian ekonomi kaum bumiputera. (Di masa itu, politik pemisahan ras antara ras "Pribumi" dan "non-Pribumi" yang telah dimapankan berabad-abad oleh pemerintah kolonial Belanda sangat mengakar. Sehingga bisa dimaklumi--dengan melihat konteks dan situasi zaman itu--bahwa Haji Samanhudi dan kawan-kawan memandang kaum usahawan keturunan Tionghoa sebagai "kekuatan asing" di ranah perniagaan Nusantara.) Sejarah kemudian mencatat, SDI (yang kelak beralih nama menjadi SI) juga menjadi sebuah kekuatan sosial politik yang cukup mewarnai pergerakan kemerdekaan Indonesia. Yang tak bergelar akademis pun tak ada larangan bagi mereka untuk membuka usaha sendiri. Sebutlah nama Steve Jobs dan  Bill Gates, dua legenda perusahaan teknologi dari negeri Paman Sam sana. Di dalam negeri, kita bisa mengambil contoh dari Purdi Eka Chandra, pendiri Bimbingan Belajar Primagama. Mereka mampu sukses tanpa gelar akademis. (Purdi Chandra baru menyelesaikan S1-nya selepas membesarkan Primagama.) Mungkin ada yang menganggap, seruan saya ini tidak realistis. Apa yang bisa dilakukan anak-anak muda dari negeri macam Indonesia untuk melawan hegemoni perusahaan-perusahaan multinasional? Ini benar-benar seperti David vs. Goliath, atau kalau mengambil contoh kekinian, seperti seorang anak Palestina--yang sudah banyak tersebar fotonya di Internet--yang menghadang dan melawan tank penghancur Israel dengan hanya bersenjatakan batu. Sepintas, mustahil dan tak ada gunanya. Saya tidak bilang bahwa ini akan mudah, dan menghabiskan waktu hanya sebentar. Lihatlah negeri kita ketika memperjuangkan kemerdekaan politiknya. 350 tahun lebih perlawanan kita terhadap Belanda. Berapa generasi yang mati tanpa melihat cita-citanya terwujud? Lihat pula Palestina. Sejak 1948, mereka dijajah. Hingga kini, 2013, 65 tahun kemudian pun perlawanan mereka terhadap penjajahan Israel tidak surut.  Ini saatnya kita bangkit, memperjuangkan kemerdekaan ekonomi kita sendiri. Ini adalah sebuah gerilya dengan UKM-UKM kita sebagai pasukan-pasukannya. Kalau ada yang bilang, bagaimana mungkin UKM-UKM yang paling banter cuma jualan camilan di teras minimarket atau suvenir bermimpi mengalahkan raksasa-raksasa industri yang mainnya di industri alat berat macam crane dan  traktor atau yang merajai pasar barang elektronik? Hei, roda nasib itu berputar. Kalau kita menelusuri Google dan mencari sejarah Samsung, kita akan mendapati bahwa raksasa asal Korea ini tidak mengawali riwayatnya dengan menjadi produsen barang elektronik seperti saat ini. Kalau UKM-UKM itu bernasib dan berpengelolaan baik, mereka akan mampu melakukan pertumbuhan dan ekspansi. Seruan saya jelas. Mulailah buka usaha. Tak mesti undurkan diri Anda dari pekerjaan kalau belum siap purna waktu berwirausaha. Sambilan pun bisa. Sebab kita mesti merdeka.

"You have to understand, most of these people are not ready to be unplugged. And many of them are so inured, so hopelessly dependent on the system, that they will fight to protect it."

--Morpheus, The Matrix

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun