“Terlambat.”Gumamku dengan agak jengkel sambil melirik jam tanganku, sudah hampir setengah jam aku menunggu di restoran ini. Aku menyalakan laptop ku sembari menunggu. Aku memandang layar laptopku sambil berpikir, cerita yang mana yang akan aku tulis. Sudah banyak pengalamanku sendiri maupun pengalaman teman-temanku yang aku abadikan dalam bentuk tulisan. Dengan begitu aku tidak akan pernah lupa. Teman-temanku tidak terlalu ambil pusing dengan tulisanku tentang pengalaman mereka yang aku publikasikan (biarpun hanya di internet) asal aku tidak menggunakan nama asli mereka.
Setelah beberapa lama berpikir, aku mulai mengetik.
~~*~~
Waktu itu, tidak seperti hari-hari lainnya, Vivi memintaku untuk tidak pulang setelah pelajaran berakhir. Dia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Tapi, ternyata bukan itu tujuannya memintaku untuk tetap dikelas pada saat jam istirahat.
“Aku suka kamu, mau nggak jadi cewekku?”Tanya Arya, tapi bukan padaku, melainkan pada cewek berpostur kecil yang duduk di depan nya dengan malu-malu.
Mendengar kata-katanya itu, aku merasa benar-benar kaget. Tanpa berkata apa-apa aku menarik Vivi keluar dari kelas. Bukan ini yang aku harapkan ketika aku masuk ke kelas sekembalinya aku dari toilet pada jam istirahat seperti yang Vivi minta.
“Apa-apaan nih?”Tanyaku meminta penjelasan.
“Gini Lin, awalnya aku juga nggak yakin mau bilang ma kamu, tapi akhirnya aku pikir lebih baik kamu tau langsung dari pada denger dari orang lain.”Kata Vivi, sedikit nyengir.
“Maksud kamu apa sih? Kamu pikir gimana perasaanku liat cowok yang aku suka nyatain perasaannya ke cewek lain di depan mata kepalaku sendiri? Kamu mikir ngga sih?”Kataku dengan suara pelan. Tubuhku gemetar saking marahnya.
“Lin, aku nggak bermaksud...aku cuman pingin kamu tau secara langsung. Anak-anak yang lain juga setuju kok”Kata Vivi.
“Emangnya apa untungnya buat kalian nglakuin semua ini?”Kataku. suaraku sekarang hanya terdengar seperti gumaman karena marah.
“Lin, sori, aku nggak ada maksud buat....”
“Udah lah.”Kataku cepat, memotong kata-kata Vivi. “Aku nggak butuh alasan.”
Aku berjalan secepat aku bisa, meninggalkan Vivi yang masih berdiri di depan kelas. Pemandangan waktu Arya nembak Rina seakan mengikuti di belakangku. Dan itu adalah pengalaman paling buruk untukku dalam sejarahku menyukai seseorang.
Keesokan harinya, aku benar-benar merasa malas berangkat sekolah. Aku hampir bisa membayangkan seharian aku tidak akan biacara dengan siapa pun karena aku masih marah. Tapi aku memutuskan untuk berangkat dengan berpura-pura tidak ada yang terjadi, selain karena tidak ada yang bisa aku lakukan selain berpura-pura, aku tahu itu membuat teman-temanku merasa bersalah. Sejak peristiwa itu, tidak ada lagi hal yang terjadi. Semua berjalan seperti semula, kecuali satu kenyataan bahwa Rina dan Arya sekarang sudah jadian.
Tapi, pada saat kelas tiga mereka putus. Aku tidak terlalu yakin apa masalahnya hanya saja aku kembali berharap. Selama mereka jadian, tampaknya tidak seharipun aku melupakan perasaanku. Dan sekarang setelah mereka tidak lagi bersama, apakah aku salah kalau aku berharap?
Akhirnya suatu hari aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku. Aku belum berani terus terang berkata kalau aku suka Arya secara langsung, oleh sebab itu aku menulis tiga kata ‘I Love You’ di selembar kertas dan memberikannya pada Arya. Aku pikir tulisan itu sudah cukup mengungkapkan perasaanku dengan jelas, berharap dia akan memberi jawaban keesokan harinya. Ternyata Arya masih belum mengerti. Selama beberapa hari, tak sedikit pun dia membicarakan soal kertas itu, aku benar-benar tidak tahan karena tegang. Kemudian saat aku dan teman-teman pulang bersama seperti biasa aku berjalan agak belakang bersama Arya.Setelah 1 minggu aku merasa udah saatnya untuk menanyakan jawabannya. Aku nggak tahan perasaanku di gantung nggak jelas kayak gitu.
"Gimana?”Tanyaku tanpa basa-basi, tanpa melihat ke arah Arya saking tegangnya.
“Kamu serius ya?”Tanya Arya, juga tanpa memandangku.
“Udah pasti kan? Kamu pikir aku bakal main-main masalah kayak gini?”Kataku pelan sambil menghela nafas.
“Maaf, aku nggak bisa.”Kata Arya.
Aku menoleh ke arahnya dan ternyata dia pun sedang memandangku. Aku merasa muka ku memerah dan akhirnya aku kembali mengalihkan pandanganku. Mendengar jawabannya entah kenapa aku tidak sesedih waktu aku melihat dia menyataan perasaannya pada Rina. Mungkin perasaanku tidak sebesar dulu, atau mungkin secara tidak sadar aku sudah mempersiapkan hatiku untuk jawaban yang terburuk. Hanya saja entah kenapa aku merasa lega, seakan sebuah beban telah diangkat dari pundakku.
“Makasih.”Kataku sedikit tersenyum lalu berlari mengejar teman-teman yang lain.
Dua kali aku ditolak oleh orang yang sama membuatku benar-benar berpikir bahwa dia memang bukan untuk ku.
~~*~~
Aku membaca ulang tulisanku lalu menyimpannya. Aku mematikan laptopku lalu meminum kopi di depanku yang sudah mulai dingin. Aku melirik jam tanganku lagi dan mengalihkan pandanganku kearah pintu.
“Dasar.”Gumamku sambil memandang ruangan disekitarku. Sekarang ada beberapa pelanggan yang menempati meja di depanku. Aku sama sekali tidak menyadari kedatangan orang-orang ini.
“Lintang.”
Aku menengok mendengar namaku dipanggil dan melihat Rakka berjalan ke arahku dengan senyum canggung. “Maaf aku terlambat.”Kata Rakka lalu mencium pipiku.
“Kan kemarin udah janjian mau makan siang disini.”Kataku pura-pura marah.
“Maaf, maaf.”Kata Rakka sambil tersanyum.
Melihat senyumnya aku juga ikut tersenyum. Aku tidak pernah bisa benar-benar marah di depannya. Aku memandang Rakka dengan penuh sayang. ‘Memang aku tidak mendapatkan cinta pertamaku, tapi Tuhan memberikan ganti yang lebih baik.’ Pikirku sambil tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H