Penulis: Kresno Aji (kresno.aji@gmail.com) – Senin Pon, 10 November 2014
Semenjak terjadinya krisis Crimea di awal tahun 2014 nama Russia mencuat di mana-mana, baik sebagai “negara tertuduh” maupun menjadi negara yang dianggap sebagai “dewa penolong” dalam mengimbangi dominasi negara-negara Barat.
Setelah mengalami keterpurukan yang luar biasa pasca runtuhnya Uni Soviet, kebangkitan Rusia sungguh mencengangkan dunia. Rusia pada era Boris Yeltsin, mengalami kemunduran ekonomi akibat dominasi kaum oligarki yang merampok kekayaan negara. Skandal ini diperparah dengan indikasi keterlibatan AS, IMF, dan World Bank yang tetap memberikan pinjaman meski mengetahui bahwa pinjaman ini jatuh ke tangan kaum oligarki. Tidak hanya itu, orang-orang terdekat dan bahkan Yeltsin sendiri ditenggarai turut terlibat dalam kemunduran Rusia. Kemunduran ini pada akhirnya membawa implikasi yang sangat buruk bagi kehidupan penduduk Rusia. Tentara Rusia bahkan pernah digaji dengan sayur-mayur karena kekosongan kas negara.
Kemunculan Vladimir Putin dalam pangggung politik Rusia yang didukung oleh kaum siloviki membawa sebuah ‘gebrakan’ baru. Usai memegang jabatan sebagai presiden Rusia pada tahun 2000, Putin segera mengevaluasi kinerja ekonomi dan kemudian bertindak tegas terhadap kaum oligarki. Di bawah kendali pria kelahiran 7 Oktober 1952 di St Petersburg itu, Rusia tak hanya menjadi kekuatan penyeimbang dalam militer namun juga ekonomi. Sebagai penyeimbang kekuatan militer, Rusia mampu mencegah kesewenang-wenangan Amerika Serikat di Suriah. Dalam bidang ekonomi, Rusia menjadi anggota G-20 juga BRIC. BRIC yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan China sebagai kekuatan baru dalam bidang ekonomi dunia.
Putin berhasil membawa Rusia keluar dari keterpurukan ekonomi dengan catatan prestasi ekonomi yang sangat gemilang. Kemiskinan berhasil dikurangi karena keberhasilannya dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Proyek pengurangan kemiskinan ini diikuti dengan baik oleh proyek nasional bidang kesehatan, perumahan, dan perlindungan sosial. Jumlah pengangguran di Rusia turun dari 8,6 juta menjadi 5 juta pada 2006. Dengan kekayaan minyaknya, cadangan devisa Rusia melonjak dari 12 miliar dollar AS pada tahun 1999 menjadi 447,9 miliar dollar AS pada Oktober 2007. Total utang luar negeri Rusia pun hanya mencapai 47,8 miliar dollar AS atau tinggal sepertiga dari total utang Rusia tahun 1999.
Dengan segudang prestasi gemilang ini, tak heran bila Rusia akhirnya memperoleh pujian dari berbagai penjuru dunia. Rusia bahkan menjadi salah satu contoh negara yang sukses tanpa menggantungkan diri pada bantuan IMF. Kesuksesan ini pun diikuti oleh pemulihan peran internasional Rusia. Rusia tidak saja sekedar bangkit tetapi berani menantang dominasi AS. Rusia menjadi anggota resmi G-8. Alhasil Rusia di bawah Putin meraih sukses dalam hubungan internasional, peran kuat yang relatif serupa dengan Uni Soviet pada masa lampau. Tak heran bila akhirnya majalah Time menobatkan Vladimir Putin sebagai Tokoh Dunia tahun 2007.
Namun eforia masyarakat Russia atas keberhasilan pemerintah dalam menangani keterpurukan ekonomi itu kemudian berubah menjadi mimpi buruk di siang hari. Aneksasi Russia secara tiba-tiba membuat Barat menjadi meriang dan akhirnya memberikan berbagai macam sanksi dari yang halus sampai pada tahap yang cukup significant. Barat berusaha lebih giat lagi untuk menggembosi Russia ke titik awal kehancuran Uni Sovyet.
Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh Kremlin, mereka sudah membuat perencanaan yang matang sebelum melakukan aneksasi Crimea. Berbagai macam skenario tentang respon Barat terhadap aneksasi Russia itu sudah termasuk dalam perhitungan mereka. Bahkan Amerika pun sudah dipermalukan Russia, dimana diberitakan oleh RBTH Indonesia, Departemen Luar Negeri AS mengakui bahwa kru kapal perusak Amerika Donald Cook gentar ketika berhadapan dengan pesawat pembom Rusia SU-24, meski pesawat tersebut hanya sebuah kompleks persenjataan radio-elektronik yang tidak membawa bom ataupun misil.
Apa yang membuat kru Amerika begitu ketakutan?
Pada Kamis (10/4), kapal perusak Amerika Donald Cook memasuki perairan Laut Hitam. Dua hari kemudian, pesawat pembom taktis Rusia Su-24 “membekukan” kapal perusak itu. Beberapa media melaporkan bahwa kru Donald Cook gentar saat bertemu dengan pesawat tersebut dan 27 pelaut Amerika mengajukan permohonan pengunduran diri dari Angkatan Laut.