Kota-kota di seluruh dunia menghadapi tantangan yang kompleks dan mendesak. Masalah seperti kepadatan penduduk tinggi, tenaga kerja non-terampil, pengangguran, tunawisma, gelandangan, kemacetan, kriminalitas, dan pemukiman kumuh (slum) telah menjadi isu yang mempengaruhi kehidupan banyak orang di perkotaan (Santoso, 2024).Â
Selain itu, ketimpangan pendapatan, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan juga turut memperburuk keadaan. Semua tantangan ini, selain mempengaruhi kualitas hidup, menjadi isu global yang perlu ditangani dengan cepat dan efektif.
Untuk dapat mengatasi masalah-masalah ini, kota-kota perlu bertransformasi menjadi "kota berkelanjutan." Sebuah kota berkelanjutan adalah kota yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kebutuhan masa depan.Â
Hal ini berarti memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial (Usop et al., 2018). Menurut Rogers (1998), kota berkelanjutan harus dapat memenuhi tujuan sosial, lingkungan, politik, budaya, ekonomi, dan fisik, yang semuanya saling terkait untuk menciptakan keseimbangan yang mendukung kehidupan yang layak dan adil bagi seluruh penghuninya.
Namun, apa indikator utama yang bisa digunakan untuk menilai keberlanjutan suatu kota? Dalam Laporan The Arcadis Sustainable Cities Index 2024 dijelaskan bahwa pengukuran kota agar layak disebut "kota berkelanjutan" dinilai dalam empat pilar, yakni Planet, Profit, People, dan Progress. Terlebih, pilar pilar tersebut telah dikoneksikan dengan Sustainable Development Goals (SDGs).Â
Adapun dalam konteks Planet, mengukur faktor lingkungan, dengan indikator yang meliputi:
- Kebutuhan langsung warga (polusi udara, ruang terbuka hijau, pengelolaan limbah)
- Dampak jangka panjang (produksi dan konsumsi energi, emisi gas rumah kaca)
- Investasi pada infrastruktur rendah karbon (energi terbarukan, mobilitas berkelanjutan)
- Ketahanan kota (risiko bencana alam dan kemampuan bertahan)
- Kebijakan hijau.
Yang memiliki relevansi dengan SDG 6, 7, 12, 13, 14, dan 15.
Dalam konteks Profit, mengukur faktor lingkungan bisnis, dengan indikator yang meliputi:
- Akses ke tenaga kerja (keterjangkauan biaya hidup dan standar hidup)
- Kemudahan perjalanan (konektivitas kota dan tingkat kemacetan)
- Infrastruktur bisnis (akses ke listrik yang andal, kualitas internet)
- Kinerja ekonomi (kemudahan berbisnis, perkembangan ekonomi, lapangan kerja).
Yang memiliki relevansi dengan SDG 5, 8, 9, 11, dan 16.
Dalam konteks People, mengukur kinerja sosial dan kualitas hidup warga, dengan indikator yang meliputi:
- Kesejahteraan pribadi (kesehatan, pendidikan, tingkat kejahatan)
- Kehidupan kerja (ketimpangan pendapatan, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan)
- Kehidupan perkotaan (keandalan infrastruktur transportasi umum, ketersediaan broadband, dan Wi-Fi).