Mohon tunggu...
Agung Santoso
Agung Santoso Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti isu - isu kemanusiaan.

Tertarik dengan isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals (TPB/SDGs)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Komoditas Jual-Beli Suara Burung

25 November 2024   18:05 Diperbarui: 25 November 2024   18:05 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.disway.id

Dua hari lagi, rakyat Indonesia akan disuguhkan dengan sebuah pameran epik. 

Tepatnya pada tanggal 27 November 2024, Indonesia akan menampilkan beragam suara yang ada di negeri ini, dari yang paling sederhana hingga yang paling memikat. 

Suara, yang kadang dianggap sepele, ternyata bisa menjadi komoditas yang sangat berharga di berbagai sektor.

Menurut Winters (2017), suara adalah gelombang mekanik yang bisa didengar oleh telinga manusia. Sementara itu, Marsudi mengartikan suara sebagai gelombang mekanik longitudinal yang membutuhkan medium untuk merambat (ub.ac.id, 2024). 

Suara tidak hanya terbatas pada frekuensi yang terdengar oleh telinga, tetapi juga mencakup bentuk komunikasi yang lebih kompleks. Ini sejalan dengan pepatah Latin yang dikenal luas, Vox populi, vox Dei, yang berarti "suara rakyat, suara Tuhan", menurut Alcuin of York. Suara rakyat, dalam konteks ini, memiliki kekuatan untuk mengubah banyak hal, baik dalam konteks politik maupun sosial.

Suara yang Berharga

Di Indonesia, banyak suara yang ternyata memiliki nilai ekonomi tinggi, terutama di dunia kontes burung kicau. Setiap bulan, berbagai jenis burung berlomba untuk menunjukkan keindahan suaranya di kompetisi yang menarik banyak pengunjung. 

Dalam kontes ini, harga suara burung bervariasi, mulai dari 150 ribu untuk suara Lovebird, 500 ribu untuk suara Cendet, hingga 1 juta untuk suara Murai Batu. Bahkan, ada jenis suara burung lainnya yang bisa dihargai lebih mahal, tergantung pada kualitas dan popularitas burung tersebut.

Kontes burung kicau sering kali menjadi ajang yang dinantikan. Tak hanya para pecinta burung, tetapi juga anak-anak, remaja, hingga lansia datang untuk menyaksikan pertarungan suara burung mana yang paling memikat hati juri. Sayangnya, di balik euforia tersebut, terdapat sebuah permasalahan yang sering terjadi, yaitu subjektivitas dalam penilaian.

Subjektivitas dalam Penilaian


Sebagian besar juri dalam lomba burung kicau memiliki latar belakang atau preferensi terhadap jenis burung tertentu, seperti Lovebird, Cendet, atau Murai Batu. Hal ini berpotensi mempengaruhi objektivitas penilaian. 

Akibatnya, lomba burung kicau yang seharusnya berfokus pada keindahan suara burung menjadi lebih tentang legitimasi burung yang pernah menang kompetisi. Kemenangan burung tertentu sering kali diartikan sebagai simbol kualitas suara, bukan karena kemampuan burung tersebut mengeluarkan suara terbaik atau gacor.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia burung kicau. juga pada kompetisi-kompetisi lainnya, misalnya Pilkada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun