Dalam kasus RUU Cipta Kerja, organisir yang dilakukan oleh gerakan masyarakat sipil dengan melibatkan sekitar 2 (dua) juta buruh di 150 (seratus limapuluh) kabupaten/kota yang berada di 20 (duapuluh) provinsi seluruh Indonesia dan mengancam mogok masal, dapat dilihat sebagai membongkar sistem pertahanan yang mendukung hegemoni kelas borjuis. Meskipun resiko kerusuhan perusakan fasilitas umum dan tercipta klaster baru akibat pandemi Covid-19, gerakan masyarakat sipil mayoritas menyampaikan bahwa RUU Cipta Kerja jauh lebih berbahaya daripada kerusakan fasilitas umum maupun Covid-19, (bbc.com/indonesia, 25/1/2021).
Perpektif Marx terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja lebih banyak dilihat dari prspektif teori kelas sosial-ekonomi, dan menempatkan kelas berkuasa sebagai pihak yang memiliki kekuatan melalui hukum yang tidak memihak pada kelas yang dikuasai. Kewajaran konflik yang terjadi akibat pertentangan kelas sosial-ekonomi, dapat dirunut dari perspektif tersebut.
Perspektif Marx yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat, terdapat kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin (proletar), akan selalu “saling berhadapan” dalam kepentingan yang selalu berbeda. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial yang hirarkis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis.
Pemikiran Karl Marx yang melihat masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas sosial, juga seolah melegitimasi “setiap tindakan” yang dilakukan oleh kelas-kelas tersebut dalam memperjuangkan pendapatnya.
Sementara pemerintah, yang berperspektif hubungan industrial yang menciptakan harmoni, ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha (industrial peace), sulit dibuktikan. Meskipun pendekatan ini berusaha mencari solusi untung sama untung bagi semua pihak, namun dalam banyak hal, poin-poin penolakan dari kelompok kontra-Cipta Kerja justru menunjukkan kebenaran yang dapat diperdebatkan. Sentralisme kewenangan, membuka celah korupsi, legalisasi upah di bawah standar, potensi PHK massal, dan resentralisasi kewenangan kembali ke pusat, misalnya, dapat ditunjukkan melalui beberapa poin norma dalam RUU. Pada posisi inilah perspektif Karl Marx sebagian terkonfirmasi kebenarannya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H