Mohon tunggu...
Masadi Wiria
Masadi Wiria Mohon Tunggu... Desainer - Disainer

hanya seorang pekerja lepas yang suka hal-hal positif tentang seni budaya, dan ingin selalu belajar dan belajar kepada siapa saja ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sajak Limabelas Luka

12 April 2011   06:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:53 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika kesejahteraan sudah cedera, si miskin tak lagi bisa berjumpa dengan kekasihnya meski sekedar menjenguknya. Cukup meratapinya dilorong-lorong penderitaan yang tampak bersih dan rapi. Kemiskinan yang terus tumbuh, seperti bayi-bayi, merangkak, tertatih-tatih, malu-malu menunjukkan jatidiri. Sengaja bersembunyi tak menampakkan diri, dan hujan deras perkara-perkara besar ini.

Konon kaum cerdik cendekia pernah bicara: “Keadilan adalah djalan bagi nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan dan kebahagiaan hidoep. Keadilan menjediakan roeang bagi setiap orang oentoek mendapatkan hak-hak azazinya sebagai manoesia. Keadilan menebarkan rasa aman, dan membebaskan manoesia dari semoea bentuk intimidasi dan rasa takoet. Keadilan mendjamin distriboesi kekajaan negara setjara proporsional, memberi peloeang bekerdja dan beroesaha secara merata. Keadilan mendjadikan hoekoem berada di atas pengoeasa dan rakjat. Keadilan mendjamin bekerdjanya mekanisme konterol sosial setjara efektif. Keadilan membebaskan, sedang kezaliman membelenggoe. Keadilan itoetjahaja dan kedzaliman itoe kegelapan”.

Namun mengapa orang-orang tak bekerja? Mereka muncul dari mulut-mulut gang didepan rumah, lalu mereka berbondong-bondong pergi ke negeri harapan. Atau menghilang begitu saja, ketika hiruk-pikuk kejahatan memadati koran-koran kota. Itu bukanlah sebuah pertanda tidak adanya lapangan kerja, namun hanya ‘ugal-ugalan’ semata, katanya. Lalu seseorang berkata: “Mari, tuang lagi gelasnya”.

Lihatlah sekolah-sekolah yang tak berpintu, saat murid-murid tak bersepatu, menganga luka menikmati pelajaran yang tak mereka butuhkan ketika sepulang sekolah karena harus bekerja membantu menebar jala, menyadap getah-getah karet, atau berkerumun merakit manik-manik, adakah yang menjadi pembantu rumah tangga? Matematika sederhananya: upah sehari berapa?

Sungguh merana ketika melihat tuan-tuan bersendawa ‘menikmati kue’sambil memutar film romantis yang acapkali membuatnya lalai dengan romantika tentang kemakmuran dan kesejahteraan. Atau sedang sibukmenghitung kenaikan gaji dan berstudi banding ke luar negeri. Bukan hal yang aneh jika tuan-tuan duduk berkumpul di ruangan itu menyelesaikan pekerjaan sambilan, sebab pekerjaan yang sesungguhnya adalah makelar dan tukang pesiar.

Berapa banyakkah kesakitan-kesakitan yang tak tersembuhkan? Hanya karena hak untuk sakit itu milik kaum hartawan? Ah, bila negeri ini subur, itulah anugerah. Namun bila tanah subur ini tidak menghasilkan apa-apa, itu bencana. Siapa yang engkau salahkan? Musim dan cuaca menjadi biang keladinya, atau berpura-puralah omong kosong tentang konservasi. Paling-paling harga pangan yang melambung itu hanya memaksa gigi gerahammu mengunyah makanan yang didatangkan dari negeri orang.

Lupakanlah cerita tentang kekayaan perut bumi ini, karena semua orang membutuhkannya. Setetespun yang engkau pergunakan, engkau harus membayarnya! Lalu pergunakanlah memenuhi antrian panjang di jalan raya, berderet-deret meliuk-liuk memanjang seperti ular. Lalu mengeluhlah, ketika engkau terjebak didalam kotak-kotak bermesin itu tentang perubahan-perubahan, pengaturan-pengaturan yang membuatmu semakin galau dan gelisah.

Seperti gelandangan kota yang menyisir jalanan seraya berdoa: Tuhan masih pantaskah aku menjadi hambamu? Mengapa tidak ada tempat untukku? Ia bertanya dengan penuh haru, lalu terdampar di setiap ruang kosong kota. Tergusur tanpa ampun, namun terlupakan dimana engkau pernah tancapkan akarnya. Meski hutan-hutan yang gundul terus saja tergerus lalu longsor menghantam desa-desa yang telah mereka tinggalkan. Sudahlah, tak perlu diingat-ingat, karena hari ini berlaku, esok sudah berlalu.

Seperti kecemasan yang berjumpa dengan rasa aman. Bagaikan satu cangkir kopi instan cepat saji. Haru birumu tentang ancaman terkadang bisa serentak datang. Paralel bagai robot yang digerakkan oleh sebuah tombol. Lalu engkau akan bersyakwasangka kepada siapa saja yang engkau jumpai, di jalan-jalan, di lorong-lorong. Rasa tidak aman itu telah memenuhi kepala. Sementara rencana-rencana korupsi ada dimana-mana. Patah tumbuh hilang berganti menyeruak seperti rumput teki. Tidak usah engkau merasa heran, bila suatu ketika nanti, engkau mengetahui bahwa nenek moyangmu sebenarnya adalah seorang pencuri.

Mencuri jalan, mencuri jembatan, mencuri sekolah, juga ingatkah engkau ketika mereka mencuri hatimu? Ah, pasti engkau telah lupa. Rasakan saja ketika engkau memaki karena terjerembab dalam lubang yang sama di jalanan. Sudah jelaslah ini bukanlah kisah Brandal Lokajaya atau Robinhood yang mengganggu tidurmu. Maka tak perlu engkau meratap, karena mereka takkan lebih berada dalam satu abad. Lihatlah rembulan yang bersinar terang, dan lihatlah tanah yang masih jauh melapang. Sementara disudut sebuah ruangan terdengar suara pekik yang hilang, terkulai lemas tak berdaya untuk mengabarkan cerita ini kepada dunia.***

Sedayu, 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun