Mohon tunggu...
Ahmad Muhammad
Ahmad Muhammad Mohon Tunggu... -

Pengais sisa-sisa kearifan orang2 terdahulu yang hampir punah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang Samin versus Pabrik Semen

21 Maret 2017   13:13 Diperbarui: 21 Maret 2017   22:15 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang boleh menafikan keberadaan orang-orang Samin. Orang boleh mencemooh segala hal yang berhubungan dengan laku hidup dan pilihan kepercayaannya. Tapi jangan pernah meremehkan mereka.

Orang Samin, sebagaimana komunitas Suku Anak Dalam, Suku Baduy dan suku-suku minoritas di pedalaman negri ini sejatinya jauh lebih beradab dari kita, yang mendaku manusia modern dan beradab.

Bila menengok perilaku kita, mulai dari budaya antri, berkendara, menjaga lingkungan dan hal-hal remeh saja kita gagal. Harga kita? Ah, kita tak pernah memiliki itu. Apalagi rasa percaya diri. Nonsens.

Lihatlah mereka, orang-orang Kendeng dan masyarakat Samin, setelah beberapa bulan lalu berjalan kaki di tengah derasnya hujan, dari kampung halamannya menuju Semarang demi meminta haknya, kini kembali melakukan ritual menyemen kakinya di depan Istana Negara untuk tujuan sama; meminta haknya yang dirampas. Ya, hanya meminta hak dan membela harga dirinya, bukan membela Tuhannya, sebagaimana jamak dilakukan kita, orang-orang berdasi, berpeci,  yang berdemo sambil melacurkan agama demi kepentingan sesaat.  

Caping dan baju yang mereka kenakan barangkali sudah seminggu belum ganti. Tapi hati mereka bersih. Lebih bersih dari kain putih yang kita kenakan saat berpesta di bundaran HI dan jalanan Jakarta. Lebih tulus dari sekadar kepentingan politik para badut di Jakarta.

Harapan mereka pun tak muluk-muluk pada penguasa. Mereka hanya menginginkan agar kelestarian alam, di mana mereka selama ini merawat dan menjaganya tidak dirampok atas nama pembangunan, peradaban atau apapun. Bagaimanapun, apa yang selama ini mereka lakukan demi menjaga kelangsungan hidup manusia dan keseimbangan alam agar tetap bisa dinikmati anak cucu mereka.

Entah sampai kapan perjuangan mereka berhasil. Yang pasti, kita tak akan mendengar teriakan takbir dari mulut mereka. Bagi mereka, kebesaran Tuhan tidak untuk dilacurkan dan sekadar untuk meminta belas kasih. Cukuplah kebesaranNYa ada di dalam hati dan semangat juangnya menuntut keadilan.

Selamat berjuang, kawan. Kawal perjuangan mereka menghadapi tirani korporasi kapitalisme yang mengepung Istana. Pegunungan Kendeng bukan untuk SEMEN, tapi untuk SAMIN, saudara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun