Tak terasa kantuk membawanya pergi ke alam mimpi. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah padang sahara nan tandus, nyaris tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Terik udara membuatnya haus. Dilihatnya di kejauhan segerombol orang sedang berkerumun. Ia pun berjalan ke arah itu dan berharap menemukan air agar dapat bertahan hidup di padang nan ganas itu. Setelah sampai di tempat yang dituju, ia tak menemukan apa yang dicarinya. Ia hanya menjumpai kerumunan orang yang sedang khusuk mendengarkan tausyiah seorang kyai yang duduk di antara mereka.
Di sampingnya berdiri seseorang, mengawal sang kyai. Setelah memerhatikan dengan seksama, Kang Salim terperanjat. Karena sang kyai itu tak lain adalah Mbah Kyai Zaed. Dan pengawal itu adalah tamu yang sedang sowan menghadap beliau. Ia kemudian bergabung dengan orang-orang yang sedang takdzim mendengar wejangan sang kyai. Aneh. Rasa haus yang ia rasakan mendadak hilang. Saat Kang Salim menanyakan soal kehidupan sehari-hari orang-orang di tengah gurun itu, mereka menjawab, bahwa sehari-hari mereka hanya membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sujud sebagai wujud penghambaan mereka pada Allah.
” Itulah makanan sehari-hari kami. Kehidupan kami”, demikian salah satu di antara mereka menjelaskan pada Kang Salim.
Dihinggapi rasa penasaran, Kang Salim lalu menanyakan siapa orang yang sedang memberi wejangan dan pengawal yang berdiri di sampingnya.
“ Itu adalah guru dan imam kami. Beliau yang menjadi imam setiap kami salat. Juga yang selalu memberi petuah dan tausyiah kepada kami tentang makna dan hakekat hidup serta bagaimana kita menjalankannya. Sedang orang yang berada di sampingnya, itu adalah malaikat Izrail, yang sebentar lagi akan menjemputnya, membawa sang Imam menghadap Kekasih abadinya.”
Penjelasan itu membuat suasana hati Kang Salim berubah tiba-tiba. Seketika kesedihan menyelimuti hatinya. Sementara raut kesedihan tak nampak pada mereka. Ia mencoba menutupi rasa dukanya dengan menahan airmata agar tak tumpah.
Saat itu juga sekonyong-konyong kilatan cahaya menyambar dan membawa mereka naik. Dalam sekejap semua orang di hadapan Kang Salim lenyap. Termasuk Mbah Kyai Zaed! Kang Salim pun menjerit histeris dan terjaga dari tidurnya. Ternyata hanya mimpi. Tapi? Ia segera bangun dan masuk ke pondok mencari sang guru. Rupanya tak ada seorangpun, termasuk tamu tadi. Ia kemudian memberanikan diri memasuki kamar Mbah Kyai. Ternyata benar. Mbah kyai Zaed telah meninggal!
Pagi harinya, kabar wafatnya sang kyai tersebar di seluruh tlatah magelang. Mendung mendadak pekat menggumpal menaungi desa Mulyorejo, pertanda kesedihan yang tiada terperi. Masyarakat seakan tak percaya, kekasih Allah itu pergi begitu cepat.
Dan malam ini, satu tahun setelah wafatnya, kesedihan masih menghiasi wajah mereka, yang haus akan wejangan dan tausyiah sang kyai, yang menyejukkan dan menentramkan hati umat.
***
Pukul sebelas malam rombongan pengajian haul belum juga pulang. Kang Hasyim dan dua sohibnya, Mbah Karto dan Lek Darmi, sehabis ngaji masih setia menunggu sambil bercengkrama membunuh waktu. Tiba-tiba Mbah Karto nyeletuk, bertanya sesuatu pada Kang Hasyim, soal sosok Mbah Zaed yang selama ini begitu dikagumi banyak orang. Selama ini ia hanya dengar dari Lek Darmi, anaknya, tentang Mbah Kyai yang linuwih itu.