Temanya adalah Jakarta yang kembali normal. Mudikers sudah kembali ke Jakarta tercinta. Sangat tercinta, yang karenanya rela meninggalkan hangat keluarga dan permai kampung halaman. Bahwa setiap orang mesti gembira jika segalanya berjalan normal. Segala abnormal akan dianggap tak nyaman, meski lebih sering dinyaman-nyamankan. Harga beras normal, gula darah normal, ketinggian air di bendungan normal, berat bayi normal, dan antek-anteknya, nyaman bukan? Dengan begitu, mari bersuka cita dengan kembali normalnya jakarta, yang tidak lagi lengang seperti saat musim lebaran. Normalnya adalah saat macet, saat bising, saat panas. “Bukan Jakarta kalo gak macet mas..” seloroh sopir bajaj kala itu. Bahwa normal memang bukan untuk menyebut kondisi yang biasanya, lebih tepat untuk yang ideal, bahkan seharusnya. Bahwa lelaki seharusnya suka perempuan, itu yang normal. Bahwa perempuan seharusnya suka lelaki, itu yang ideal.
Temanya Jakarta yang kembali normal. Mari mensyukurinya dengan sebuah pertanyaan: Apa benar kita hidup normal di Jakarta? Apa yang membuat kita rela menikmati kemacetan dan polusi ini? Apa yang membuat kita rela berdesak-desak dalam bus penuh di jalan yang macet. Apa yang membuat begitu tega jauh dari orang tua yang telah membesarkan kita, yang kita balas dengan meninggalkan mereka saat tubuhnya makin renta. Hmm..maaf sebelumnya..menurutku alasannya adalah uang (Ini tidak mutlak, silakan kalo ada yang pendapat lain).
Kehidupan yang normal bahkan sesuai tuntunan agama menuntun kita baik dengan tetangga, harus sangat baik. Jadi jangan iri melihat Mbah Marto selalu dicari orang untuk memandikan jenazah. Jangan ngiler melihat Pak Gito baik hati membagikan ikan mujair dari kolamnya kepada para tetangga. Jangan mupeng melihat Mbak Tri yang tulus merawat orang tuanya yang sudah sepuh (tua).
Begitu saja. Alasannya utamanya adalah uang. InsyaALLAH ini bukan ekspresi kecewa, ketidakrelaan atau kekufuran atas nikmat hidup di Ibukota. Saya sangat bersyukur tinggal di kota yang kompetitif ini. Saya menikmati setiap jenak rindu akan tetangga, keluarga, dan tentu orang tua. Ini hanya sebuah ide agar kita bisa membuat Jakarta manusiawi bagi perantau yang jauh dari keluarga batih. Jadi kalo mau membangun atau membeli atau menyewa rumah, ayo tetanggaan^^. Biar kalau ada kebahagiaan, kami bisa berbagi dengan tetangga terdekat dulu. Dan bila ada kesusahan, ya...tolong dibantu ya..bim salabim jadi apa prok prok prok...Bercanda atuh..Trima kasih mas/mbak sudah mau menyempatkan membaca, jangan lupa dikasih cendol..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H