Mohon tunggu...
Mas Nanang
Mas Nanang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang ayah yg sederhana, kadang-kadang menjadi penulis lepas (kendali)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pilkada Langsung, Dari Rakyat untuk Politisi

13 September 2014   11:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurang dari 40 hari lagi, MPR akan melantik Presiden dan Wakil Presiden RI ke - 7.  Segudang pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru telah menunggu, sementara para politisi justru sibuk menyanyikan lagu, yang sama sekali tidak pantas dibilang merdu. Mengatur posisi bukan untuk mendorong bangsa ini segera bergerak maju, tapi merasa bangga atas nama konsistensi karena masih tetap bertahan di dalam kubu. Lontarkan isu demi isu, pertontonkan parodi yang tidak lucu.

Pilkada langsung menjadi tabu, basi, berbiaya tinggi hingga mendorong jumlah oknum kepala daerah dan wakilnya yang masuk bui karena korupsi,  menjadi beribu-ribu. Sebagai politisi, tentu saja oknum anggota DPR dan DPRD yang menjadi mitra........... tak pernah sabar menunggu. Katanya, " Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kami pasti  menyusulmu (masuk bui juga, dong. Emang lo aja yang bisa?)". Menunjukkan kejujuran,   tanpa malu-malu!

Wahai oknum politisi korup yang tidak terhormat, setankah yang telah merusak nuranimu? Dan iblis mendampingi ketika partaimu  kami percayai  lakukan rekruitmen untuk mencalonkanmu? Ada pelatihan apa sajakah di sana? Apakah trik mengumpulkan upeti secara santun,  atau teknik melakukan tipu-tipu? Kalau itu semua tidak ada,  kemudian akhirnya anda menjadi koruptor, berarti bukan salah partai. Tapi salah anda sendiri. Anda tidak tahu diri bahwa orang yang ada di dalam cermin itu, tidak punya integritas, kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi apapun di negeri ini. Partainya tidak salah, systemnya tidak salah, meski tidak ada salahnya juga kalau beberapa prosedurnya diperbaiki.

Wahai politisi yang  masih punya kehormatan, yang menjadi kepala daerah, wakil kepala daerah atau  anggota dewan,  mohon dengarkan kami. Mungkinkah Anda juga merasa terganggu dengan pilkada langsung? Konco-konco Anda bilang, pilkada langsung menimbulkan konflik horizontal antar keluarga, saudara, bahkan antar suku. Faktanya bisa dilihat dengan jelas setiap hari di tv,  siapa yang selalu gontok-gontokan?. Mencontohkan ketidak kompakan untuk membangun negeri ini dan terus berdebat tarik urat,  dengan sama-sama  mengatasnamakan  kepentingan rakyat.   Kalau memang dianggap memunculkan politik dinasti, bukankah pelakunya adalah teman-teman Anda sendiri? Pejabat yang berasal dari atau keluarga politisi, diawasi oleh parlemen yang tentu saja juga politisi. Dan menjadi tugas Anda membiarkannya?. Sedangkan rakyat tidak mungkin main hakim sendiri karena itu melanggar konstitusi (wakil rakyat kerja, dong).

Teman Anda juga menuduh  bahwa pilkada langsung menjadi biang keladi semakin maraknya korupsi,  karena ongkos politik yang begitu tinggi. Padahal teman-teman Anda itulah yang terjun langsung bagi-bagi uang ke masyarakat, dari tengah malam hingga dini hari. Menimpakan kesalahan kepada pihak lain, atas perbuatan yang dilakukannya  sendiri. Benar-benar tidak punya hati.

Wahai politisi yang mulia,  mohon maaf  kalau banyak pertanyaan. Karena Anda tak pernah memberi jawaban. Yang kami butuhkan bukan pilkada tak langsung. Yang kami tunggu adalah, penegakan hukum. Katakan "PENEGAKAN HUKUM" sekali saja,  dan contohkan kepada kami dengan perbuatan.....bukan janji,  apalagi puisi.  Atau rakyat akan menganggap, politisi hanya pantas hanyut di kali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun