“Gunung teraktif di dunia” kalimat ini yang pasti muncul ketika kita mendengar Gunung Merapi. Mengapa bisa seperti itu? Karena menurut catatan modern, Merapi mengalami erupsi(puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Secara geografis, letak gunung ini unik karena berada di antara 2 provinsi yaitu provinsi Jawa tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, serta di antara 4 kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Kebupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten.
Pada Bulan Oktober dan November 2010 Merapi mengalami erupsi yang luar biasa. Muntahan lava pijar terus terjadi disertai dengan awan panas. Warga sekitar merapi menyebutnya “Wedus Gembel”
Wedus gembel adalah awan panas berwarna putih yang menyerupai bulu kambing, sehingga warga sekitar lereng merapi menyebutnya demikian. Awan ini sangat kejam dan tak pernah pandang bulu, siapa saja akan diterjang. Wedus gembel adalah pemakan korban terbanyak dibandingkan material erupsi lain. Tak heran warga begitu takut ketika melihat wedus gembel mulai mengalir turun. Namun di lain sisi ada seorang kakek yang tidak takut sedikitpun, siapa lagi kalau bukan “Mbah Marijan”
Mbah marijan adalah juru kunci Gunung Merapi yang tinggal di lereng gunung. Dia menyebut Merapi adalah sahabatnya, maka ketika Merapi meletus pada tahun 2010 dia tidak mau dievakuasi. Pada akhirnya semua warga Indonesia tertunduk lesu ketika Mbah Marijan meninggal dunia dalam perjuangannya mendampingi “sahabatnya yang sedang marah”. Pasti bertambah satu bunga indah di Taman Surga Tuhan dengan meninggalnya sosok pemberani seperti Mbah Marijan. Selamat jalan mbah.
Dengan keadaan Merapi yang kian buruk, banyak warga yang harus mengungsi ke tempat yang lebih rendah. Pada waktu itu saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mereka? Tidak logis rasanya jika saya hanya bisa menyaksikan kesedihan mereka. Maka pada awal Bulan Desember saya berangkat ke Jogja untuk menjadi relawan. Saya bergabung dengan JRS (Jesuit Refugee Service).
Saya membantu di bidang logistik untuk mendistribusikan bantuan secara cepat dan tepat sasaran, senang sekali rasanya ketika saya melihat senyum para pengungsi yang merekah saat saya mengunjungi mereka. Mungkin hanya air mineral atau mi instant yang bagi kita itu hanyalah barang kecil dan murah, tetapi sangat berharga bagi mereka yang membutuhkan. (Biarlah “garam” yang sedikit ini menjadi “garam” yang berguna bagi mereka).
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan telah berlalu dari letusan Merapi yang amat dahsyat tersebut, sekarang saatnya para pengungsi untuk bangkit dari keterpurukan. Sempat saya merasa ragu, tidak mungkin para pengungsi bisa kembali hidup normal, pasti mereka trauma dan sangat frustasi. Namun saya disadarkan oleh seorang anak kecil yang kehilangan ayah ibunya, dia berkata dengan mata yang berkaca-kaca: “Mas, saya tidak akan menyesali mengapa semua ini bisa terjadi? Tetapi saya meyakini bahwa semua ini telah terjadi dan apa yang harus saya lakukan sekarang untuk bangun.”
Bangun adalah kata-kata yang menyentuh hati saya, sekaligus menyadarkan saya bahwa alam tidak sepenuhnya kejam. Setelah hampir dua tahun bencana berlalu, lihatlah di sekitar lereng merapi dan kita akan melihat banyak terdapat material bekas erupsi yang sangat berguna untuk kehidupan kita. Seperti pasir, batu, dll.
Para warga mulai mendapat penghasilan dari menambang material tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah kesuburan yang diberikan oleh Merapi. Tanahnya menjadi sangat subur (tanah vulkanik) dan sangat cocok ditanami holtikultura. Ini juga sangat menguntungkan bagi para petani.
Merapi tidak sekejam yang kita kira. Dia memberikan hadiah yang luar biasa kepada kita, tetapi mungkin kita harus sedikit berjuang dulu untuk mendapatkan hadiah tersebut. Tanpa sadar mungkin kita merasa lebih tahu daripada Tuhan, sehingga kita sering mengeluh terhadap apa yang terjadi. Namun ternyata dibalik semak belukar ada buah manis dan sayuran segar yang menunggu dipetik.
Semua telah berlalu, Merapi tetaplah gunung berapi yang begitu indah dan selalu setia mendampingi sahabatnya Gunung Merbabu. Merapi tetap menjadi kekayaan alam yang Indonesia miliki. Saya bangga memiliki Merapi yang menjulang tinggi dan begitu dermawan memberi semua kebutuhan manusia secara gratis.
Akhirnya saya pun harus pulang dari Jogja dan meninggalkan sejuta kenangan tentang Merapi bersama relawan JRS. Saya kembali menjalani kuliah saya di Solo, dan menyimpan semua kenangan itu di dalam hati saya. Ingat! “Alam tak pernah jahat kepada kita”
Terimakasih Gunung Merapi, terimakasih Mbah Marijan, dan terimakasih untuk para pengungsi, semoga kita bisa melestarikan alam ini bersama-sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H