Siang tadi sejumlah aktivis mahasiswa Universitas 17 Agustus Surabaya (Untag) melakukan demo menentang pembangunan Kampus Unair di Kabupaten Banyuwangi. Mereka mengecam kebijakan pemerintah dalam rangka komersialisasi dunia pendidikan di Indonesia. Unjuk rasa ini mereka tujukan kepada Abdullah Azwar Anas selaku Bupati Banyuwagi yang telah memberikan ijin pemabangunan kampus, dan juga Menteri Pendidikan M. Nuh yang menyetujui program ini.
Para pengunjuk rasa beralasan bahwa pembangunan kampus negeri, akan mematikan potensi kampus swasta yang ada di daerah tersebut. Hingga saat ini, tercatat ada 11 PTS di Kabupaten Banyuwangi. Pemerintah Daerah harusnya memperhatikan nasib PTS-PTS ini dengan memberikan bantuan secara materi, bukan malah mendirikan kampus baru yang nantinya akan mengancam keberlangsungan PTS-PTS tersebut. Jika kampus PTN jadi didirikan, tentu antusiasme masyarakat sekitar akan tertuju pada PTN tersebut dan minat untuk masuk PTS akan turun.
Di sisi lain, Bupati Banyuwangi telah menyediakan tanah seluas 100 hektar untuk pembangunan Kampus Unair tersebut. Rencananya, kampus ini akan mulai melakukan proses belajar mengajar pada tahun ajaran 2014/2015. Jurusan yang dibuka pada tahun pertama ini adalah Kedokteran Hewan dengan kapasitas 50 orang. Selama pembangunan kampus belum rampung, kegiatan perkuliahan dilaksanakan di SMAN 1 Giri Banyuwangi.
Aneh raasanya jika melihat tujuan para aktivis Untag ini menggelar unjuk rasa, yakni menentang adanya komersialisasi pendidikan. Namun mereka justru mendorong PTS tumbuh subur dan menghalangi pendirian kampus negeri di suatu daerah. Seperti kita ketahui, jika PTN lebih murah dalam hal pembiayaan dibanding PTS yang memang dikelola swasta. Ini lantaran PTN mendapat subsidi dari pemerintah dalam menjalankan opersionalnya.
Meskipun pembiayaan relatif lebih murah, tapi secara kualitas PTN lebih meyakinkan publik mampu memberi pendidikan yang lebih baik. Jika berlaku hukum ‘semakin mahal biaya semakin baik kualitas pendidikan’ di PTS, hukum ini tak berlaku di PTN. Bahkan PTN berlomba-lomba menawarkan pendidikan murah dan beragam beasiswa namun juga bersaing melahirkan sarjana-sarjana yang berkualitas.
Oleh karena itu, saya lebih setuju jika ada PTN yang berdiri di daerah-daerah yang selama ini ‘tak tersentuh’. Selama ini pembangunan PTN terpusat di kota-kota besar. DI Jawa Timur, PTN berpusat di Surabaya dan Malang. Praktis kota-kota tersebut akan diserbu pelajar dari lain daerah. Dampaknya terhadap daerah juga sigifikan, dimana dua kota tersebut memiliki tingkat kesejahteraan penduduk di atas rata-rata.
Selain itu, jika PTN terletaj di kota besar, biaya hidup mahasiswa juga membengkak. Bandingkan saja harga sebungkus nasi pecel di daerah Kediri yang hanya berkisar Rp 3.000 dengan sebungkus nasi pecel di Surabaya yang harganya Rp 6.000-7.000. Tak hanya itu, biaya kos juga sangat mahal di wilayah kota-kota besar.
Untuk itu sudah seharusnya Kemendikbud melirik daerah-daerah tertentu yang dianggap masih tertinggal untuk dijadikan tempat membangun PTN yang baru. Hal ini lantaran dampak adanya PTN pada perekonomian dan pembangunan daerah resebut sangat signifikan. Dengan adanya PTN yang biaya pendidikannya murah dan kualitas pendidikannya memadai, maka akan semakin banyak (anak) penduduk di daerah tersebut yang mengenyam bangku kuliah. Namun tentunya tak mengabaikan begitu saja keberadaan PTS yang sudah ada di wilayah tersebut. Yakni dengan menawarkan kerjasama pengelolaan gedung dan juga mengangkat dosen-dosen yang telah mengajar menjadi bagian dari PTN yang didirikan. Dengan demikian, PTS juga tak merugi dan yang paling utama adalah masyarakat memperoleh pendidikan yang lebih murah dan berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H