Mohon tunggu...
Mada Darmawan Putra
Mada Darmawan Putra Mohon Tunggu... -

Hanyalah seorang yang tidak pandai, tetapi ingin melihat orang lain melihat Rahmat yang Terbesar dari Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bhayangkara

8 Januari 2014   12:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah desa yang sederhana, yang berada tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Wilwatikta. Desa ini ada dalam wilayah di bawah pemerintahan raja kecil Bre Matahun, wakil dari kerajaan besar Wilwatikta. Penduduknya cukup banyak, namun tidak terlalu mempengaruhi ketenangan desa itu. Setiap hari para penduduk melakukan kegiatan mereka masing-masing. Selalu dijumpai para petani memanggul cangkulnya, atau membawa bajak beserta kerbaunya menuju sawah di saat hari masih pagi. Anak-anak berlarian kian kemari, menikmati mentari yang mulai menghangat. Ibu-ibu asyik menumbuk padi, setelah sebelumnya menyiapkan masakan bagi keluarganya. Ada yang sedang menganyam bambu menjadi tampah, ada yang sedang asyik memandikan ayam sabungannya. Di depan rumah penduduk tercium bau wangi dupa dan kemenyan, persembahan bagi para dewata yang diharapkan menjagai keluarga pemberi persembahan. Bedander, sebuah desa biasa yang nyaman untuk ditinggali. Tenang dan damai dijumpai di setiap sudutnya.

Namun belakangan ini suasana berubah. Kotaraja gempar karena peristiwa yang meresahkan bagi banyak orang. Istana kerajaan dikuasai oleh pemberontak. Belum habis setahun sejak peristiwa terkena, Ra Semi, memberontak oleh karena membela Nambi, pejabat yang difitnah sebagai perencana kudeta Majapahit. Pemberontakan Ra Semi sangat menggemparkan kerajaan, walau akhirnya pemberontakan berhasil ditumpas pasukan kesatuan kerajaan. Selesai pemberontakan Ra Semi, pejabat Dharmaputra yang lain rupanya turut melakukan perlawanan, yaitu Ra Kuti. Ia menganggap raja yang saat ini bertahta, Sri Paduka Jayanegara, bukanlah raja yang baik, yang hanya sekadar berfoya-foya dan tidak mampu mengurus negaranya. Jayanegara dipandang sebagai raja yang bertolak belakang dari ayahandanya, Sri Rajasa Jayawardhana, atau dikenal oleh masyarakat umum sebagai Rakryan Wijaya, pendiri Wilwatikta. Tidak tanggung-tanggung, Ra Kuti melakukan invasi langsung di ibu kota, sehingga keraton dibuatnya kewalahan. Nampaknya prajurit istana tidak siap menghadapi gempuran pemberontak yang langsung menyerang pusat kota. Istana berhasil diduduki. Jikalau tidak ada kawalan Bhayangkara, pasukan elit pelindung raja, nampaknya Raja Jayanegara akan ikut tertumpas bersama para prajurit yang lain.

Rupanya pasukan Bhayangkara amat terampil dan siap dalam melindungi raja dan keluarganya. Mereka berhasil mengamankan raja beserta sanaknya keluar dari kotaraja. Sungguh aneh, seorang raja harus terusir keluar dari kota tempat ia seharusnya memerintah. Jauh lebih baik daripada dia dihina dengan penggal kepala oleh Ra Kuti. Di bawah kepemimpinan seorang bernama Gajah Mada, bekel pasukan Bhayangkara, Jayanegara berhasil mengamankan diri di desa Bedander. Untung saja, tidak ada pasukan pemberontak yang mengikuti pelarian mereka. Hal inilah yang membuat desa yang dulu tenang itu kini jauh berbeda. Mendadak desa itu dipenuhi prajurit, yang harus menyamar dengan meninggalkan atribut keprajuritan mereka. Bahkan Gusti Prabu sendiri harus menyembunyikan atribut kebangsawanannya demi keamanan. Penduduk dihimbau untuk tidak menceritakan priyagung yang sedang tinggal di desa mereka kepada siapapun juga. Bahkan ada larangan bagi penduduk untuk tidak menyambangi tempat-tempat tertentu, terutama pergi ke kotaraja, agar rahasia negara ini tidak bocor ke tangan pemberontak. Suasana semakin mencekam dari hari ke hari.

Diantara para prajurit Bhayangkara, terlihat tiga orang yang nampak sangat akrab. Ditengah ketegangan suasana, mereka nampak tetap bisa nyaman dalam bersenda gurau. Tiga orang yang masih amat muda, di awal usia dua puluhan mereka. Usia yang penuh gejolak, namun gejolak mereka teredam tugas keprajuritan mereka. “Wah, nampaknya memang keadaan sekarang sedang terlalu genting, ya?” celoteh Kebo Suwita, kepada kawannya, Ken Wijaya. Seorang sahabatnya lagi, datang seusai memberi laporan kepada Bekel Prajurit Gajah Mada, merebut perhatian sebelum Ken Wijaya sempat membalas pertanyaan Kebo Suwita “Terlalu genting? Memang segenting apa yang mau kamu cari? Mending kita bisa aman di desa ini. Jauh lebih baik juga, Gusti Prabu bisa tinggal aman bersama kita disini. Hahahaha!”. Ken Wijaya segera menyahut, “Hei, Ken Darma, asal nyahut saja kau! Sudah beres laporanmu kepada Ki Bekel? Jangan-jangan desa ini sudah disusupi oleh antek-antek Ra Kuti? Hayo, bagaimana?”

“Enak saja. Tidak ada seekor lalatpun yang lolos dari pandangan Ken Darma”

“Paling-paling kamu jaga sambil molor. Hahahaha!” sahut Kebo Suwita mengejek sahabatnya.

“Walau mataku tertutup, tapi hatiku akan tetap terbuka untuk melihat siapa saja. Hahahahaha!” Ken Darma tak mau kalah.

“Bisa saja kau mengelak, Ken Darma. Tapi memang sudah sepantasnya kita terus bersiaga. Keadaan tidak bisa kita perkirakan sepenuhnya. Sandang pedang dan busur, kalau-kalau ada serangan dadakan. Daripada kita yang rugi, atau bahkan daripada Gusti Prabu ter....”

“Hei, sudahlah. Berjaga-jaga harus, namun tidak perlu terlalu takut. Lagipula, Ki Bekel ada di sini. Kita sudah paham betul bagaimana sepak terjangnya sebagai pimpinan pasukan Bhayangkara. Ia orang yang sangat cerdas dalam membuat perhitungan dan strategi.” Ken Wijaya menyahut dengan penuh keyakinan. Dalam suasana tegang demikian, memang perlu sedikit mengendurkan syaraf. Nampaknya Ken Wijaya tahu betul akan hal ini. Ia juga paham, banyak pasukan Bhayangkara yang mulai tegang akibat gawatnya kondisi saat ini. Sebab nyawa raja ada dalam tanggung jawab mereka. Dan semua terus berusaha supaya jangan sampai musuh mencium persembunyian mereka saat ini. Oleh karena itu, ketiga sahabat ini banyak melempar senda gurauan, agar mereka sendiri tetap segar dalam tugas berat mereka ini.

Namun tidak banyak yang tahu, walau Ken Wijaya nampak sebagai prajurit yang tangguh tak berkelemahan, ada satu hal yang mengganjal hatinya. Jikalau hari sudah mulai malam, di dalam gubuk jaganya, Ken Wijaya nampak murung. Gundah tersurat di air mukanya. Di bawah terangnya obor, ia kerap terlihat melamun. Melamunkan sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. Seorang prajurit memang sudah dilatih untuk menghadapi musuh-musuhnya. Namun nampaknya seorang prajurit tangguhpun belum terlatih untuk menghadapi perasaannya sendiri. Menghadapi rindu yang memuncak, oleh karena hati yang tertambat kepada seorang wanita. Ya, Ken Wijaya hampir tidak bisa menahan rasa gundahnya karena merindukan kekasihnya, Palasari. Dalam lamunannya itu ia kerap memegang erat sepucuk lontar, surat terakhir dari kekasihnya ini sebelum pemberontakan kotaraja terjadi.

Kakang, tahukah engkau aku selalu merindukanmu? Sudah dua purnama aku tidak berjumpa dengan kakang. Bagaimanakah keadaan kakang? Setiap hari kakang harus ada di istana, melayani Gusti Prabu. Kapankah dinda bisa terus bersama kakang, melayani kakang sebagai suami dinda? Ah, nampaknya dinda terlalu berani bicara. Tentu tugas kakang jauh lebih penting. Tugas negara harus diutamakan. Dindapun paham akan beratnya tugas kakang. Hanya doa dinda dihadapan dewata yang bisa dinda panjatkan, supaya kakang selamat selalu dan kelak bisa bersama dinda. Jangan takut, kakang, ibunda kakang selalu dalam keadaan sehat. Dinda akan jaga ibunda kakang, sama seperti ibu kandung dinda sendiri. Dindamu yang setia menanti, Palasari

Surat itu dulu sampai di tangannya sebelum keributan terjadi melalui seorang pelayan istana, yang kebetulan juga memiliki rumah tidak jauh dari rumah ibunya. Sampai lusuh lontar itu didekapnya, berharap ia bisa segera menjawab pesan dari kekasihnya itu. Namun apa daya. Keadaan memustahilkan bahkan sepucuk surat keluar dari desa itu. Mau dititipkan kepada siapa? Semua orang tidak bisa keluar dari desa tersebut. Hatinya kian tercabik-cabik lagi, jika dia juga mengingat ibunya yang kini hanya ditemani Palasari itu. Tidak ada keluarga lain yang dia miliki lagi, kecuali ibunya yang sudah mulai renta. Bagaimana ibunya? Sehatkah dia? Amankah dia di kotaraja? Atau, keributan yang lalu itu turut membabat rumah ibunya? Ah, makin banyak dia berprasangka, makin gundah hatinya. Terkadang dari sudut-sudut mata seorang prajurit Ken Wijaya, menetes air kepedihan yang mewakili isi hatinya. Prajurit, walau dilatih sebagai alat pembunuh,tetaplah manusia yang memiliki hati. Hatinya akan bergetar jika orang yang dikasihinya tertimpa kemalangan. Dan kini hatinya sedang digores oleh kerinduan kepada dua orang wanita yang penting dalam hidupnya.

Malam kini sudah undur. Sang Surya mulai menampakkan kegagahannya di ufuk timur. Alam nampak menyambut datangnya dengan riuh kicauan burung prenjak di hutan dekat desa. Kegelapan yang menguasai desa perlahan surut, diganti dengan hangatnya sinar mentari. Penduduk mulai keluar dari rumah mereka masing-masing, setelah sejenak menyiapkan persembahan dan berdoa di kuil kecil di depan rumah mereka. Memang penduduk masih boleh melakukan kegiatan mereka sehari-hari. Hanya saja, mereka dilarang untuk keluar dari desa. Setiap sudut desa akan dijumpai prajurit, yang dapat dikenali karena mengenakan udeng merah. Bahkan di sawah dan ladang penduduk, beberapa prajurit juga berjaga-jaga atas penduduk yang sedang meladang. Semua dilakukan agar Jayanegara bisa aman bersembunyi di desa Bedander.

Pagi ini Ken Wijaya tetap berada di gubuk tempat ia berjaga, tidak jauh dari pintu masuk desa. Perasaan sedih sekaligus rindunya masih belum padam. Bahkan nampaknya makin besar. Ia mulai tidak bisa memusatkan perhatian kepada tugasnya. Mukanya mulai terlihat pucat, sebab sering kali ia tidak bisa beristirahat karena perasaan yang menekannya itu. Muka berserinya hari ini benar-benar lenyap. Kepercayaan diri dan kegirangan yang biasa terpendar, tertutup kemuraman yang dibumbui wajah pucat. Kebetulan, dayang-dayang istana yang turut melarikan diri bersama keluarga raja juga ditugaskan untuk mengurus kebutuhan logistik prajurit. Seorang dayang, Mayasari, hari ini bertugas untuk mengantarkan makanan ke pos jaga dekat pintu masuk desa. Ketika ia sampai di gubuk Ken Wijaya, ia segera menyapanya, “Selamat pagi, Prajurit Ken Wijaya! Ayo makanlah dulu, hari sudah mulai siang. Kudengar kau berjaga dari semalam. Pasti kau sangat lelah. Ayo, makanlah nasi bungkus ini, supaya badanmu kuat kembali. Marilah!”. Namun Ken Wijaya masih melamun. Tidak digubrisnya sapaan Mayasari yang hangat itu. Mayasari sudah mengenal Ken Wijaya sejak bekerja dua tahun lalu di istana. Di waktu senggang Mayasari kerap berbincang bersama Ken Wijaya, Ken Darma, dan Kebo Suwita. Mereka berempat sangat terlihat akrab bila tidak sedang menjalankan tugas. Tentu saja keacuhan Ken Wijaya membuat Mayasari bertanya-tanya. Dan ia segera paham apa yang sedang terjadi. “Seorang prajurit yang menjalankan tugasnya seharusnya tidak perlu pusing dengan perkara-perkaranya sendiri. Ia harus memusatkan perhatian kepada perintah atasannya. Bukankah demikian yang diajarkan dalam pelatihan keprajuritan?” pancing Mayasari supaya Ken Wijaya memperhatikannya. Dan nampaknya mulai berhasil. Ken Wijaya menyahut, “Tapi aku tidak diajarkan, bagaimana menanggulangi rasa rindu yang membuncah macam ini. Aku tidak diajari bagaimana seharusnya menghapus rasa rindu kepada orang-orang yang dikasihi.”

“Hahaha, kau ini. Masakan prajurit yang siap dihadang seribu pedang musuh, kalah dengan perasaannya sendiri?”

“Perasaan yang gundah itu rasanya seperti dicabik selaksa cemeti musuh. Jikalau pedang aku tahu bagaimana menggunakan dan menangkis serangannya. Namun jika pedang itu menebas jiwaku, aku tak tahu bagaimana menyembuhkan lukanya.”

“Aku tahu itu. Akupun sedang merindukan keluargaku juga yang ada di kotaraja. Aku rindu ayahku, sudah semenjak aku masuk istana aku belum pulang menjenguk beliau. Aku kangen ibuku, yang selalu kuingat lantunan kidungnya jika malam menjelang. Aku juga merindukan adik-adikku, yang kutinggalkan di rumah. Apalagi kini keadaan sedang genting di kota raja. Namun aku dengar sedikit kabar baik ketika aku lari dari istana. Kudengar yang menjadi sasaran serangan hanya istana saja. Namun penduduk kotaraja tidak diapa-apakan. Aku bisa tenang mendengar kabar itu. Tentu ibu dan kekasihmu dalam keadaan yang baik-baik saja.”

“Mungkin itu benar, namun aku sangat rindu kepada mereka. Hatiku tidak akan lega sebelum melihat mereka dengan mataku sendiri.”

“Baiklah, baiklah. Bersabarlah sejenak. Pasti jika kau bersabar, kau akan bisa berjumpa mereka. Sekarang makanlah, mukamu sangat pucat. Rindu tidak membuat kenyang. Tapi nasi bungkus buatanku pasti memulihkan tenagamu. Ayo, mumpung masih hangat.”

Senyum manis Palasari turut dibubuhkan di bibirnya untuk menghibur Ken Wijaya. Nampak di muka Ken Wijaya mulai berpendar dengan semangat. Ia menyambut uluran nasi berbungkus daun jati itu, dan mulai makan dengan lahap. Hatinya sudah mulai terhibur. Setiap butir nasi yang masuk ke dalam mulutnya serasa memberi pengharapan baru baginya. Tiba-tiba di tengah makannya, ia mendapatkan pemikiran. Bagaimana jika meminta ijin saja untuk pulang sejenak ke kotaraja? Ide itu segera diungkapkannya kepada Mayasari, “Hei, bagaimana jika aku ingin pulang sejenak waktu saja ke kotaraja, menjenguk ibu dan kekasihku, sehari saja? Tentu hal ini bukan hal yang terlalu berat. Aku tetap bisa berjaga disini setelahnya. Bagaimana menurutmu?”

Mayasari mengernyitkan keningnya, “Nampaknya itu bukan pemikiran yang baik. Walau aku bukan seorang prajurit, namun aku tahu bahwa saat ini keadaan sedang gawat. Kau sebagai prajurit tentu jauh lebih paham dari aku. Mana mungkin kau meninggalkan desa ini, sedang Gusti Prabu masih berada di sini? Bukankah tanggung jawabmu untuk menjaga keselamatan raja? Lagipula saat ini kotaraja ada dalam kekuasaan Ra Kuti. Bukankah itu berbahaya?”

Ken Wijaya tetap bersikukuh, “Aku harus bertemu mereka, aku sudah tidak tahan lagi!” selera makannya sudah hilang saat itu juga. Tanpa bisa ditahan lagi ia beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kediaman Gajah Mada. Mayasari hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah Ken Wijaya yang semakin aneh. Ia hanya melihat saja Ken Wijaya yang semakin jauh berjalan. Hatinya mulai mengkhawatirkan Ken Wijaya, sahabat yang selama ini dia kenal periang, namun kadang bisa pendek pikirannya.

Ken Wijaya sudah makin dekat dengan rumah di tengah desa, di mana Gajah Mada tinggal dan sering mengadakan pertemuan bersama pasukan Bhayangkara yang lain. Rumah itu agak berbeda dengan rumah penduduk desa pada umumnya. Rumah itu dikelilingi pagar dari kayu setinggi dada orang dewasa. Dan hanya satu pintu masuk, berbentuk regol, yang selalu dijaga oleh sepasang pengawal. Di belakang rumah itu ada sebuah rumah yang agak besar, dimana Jayanegara bersembunyi bersama anggota keluarganya. Memang sengaja Ki Bekel Gajah Mada memilih tinggal di rumah dekat persembunyian Jayanegara, supaya ia sendiri mudah mengawasi dan mengamankan rajanya. Selain di regol, rumah itu terlihat dijaga ketat oleh pasukan Bhayangkara yang membawa persenjataan lengkap. Tidak sembarang orang boleh masuk rumah Gajah Mada tanpa diperiksa oleh pasukan pengawal lebih dahulu. Di depan regol, Ken Wijaya dihentikan oleh pengawal, “Berhenti dulu, Ken Wijaya! Bukankah tidak seharusnya kamu kemari saat ini? Ki Bekel belum memanggilmu!”

“Apakah Ki Bekel sedang ada di rumah ini? Aku harus melapor kepada Ki Bekel, ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan Ki Bekel!”

“Tidak bisakah kau menyampaikannya melalui kami saja? Kami akan beritahukan kepada Ki Bekel”

“Ini hal penting, harus aku sendiri yang menyampaikannya.” Ken Wijaya semakin menandaskan pentingnya maksud kedatangannya. Akhirnya para pengawal menyuruhnya untuk menunggu di halaman dalam, di sebuah balai kecil tempat pasukan biasa beristirahat. Seorang pengawal masuk ke rumah untuk menghubungi Gajah Mada. Tidak lama berselang, yang ingin dijumpai oleh Ken Wijaya terlihat keluar. Sesosok pria gagah yang berbadan besar tegap, bepakaian serba merah dengan keris berhulu gading terselip di pinggang kirinya keluar menemui Ken Wijaya. Walau atribut keprajuritan Majapahit tidak dikenakannya, orang akan tahu ia pantas disebut sebagai prajurit tangguh. Sorot matanya terlihat tegas, namun cerdas. Ken Wijaya segera berdiri dan memberi hormat kepada pimpinannya ini. Suaranya yang berwibawa segera berkumandang, “Kudengar kau memiliki kabar penting yang hendak kau sampaikan kepadaku. Apa itu?”

“Mohon maaf, Ki Bekel harus terganggu dengan kedatangan saya. Sebenarnya, saya ingin meminta ijin.”

“Ijin apa maksudmu?” Gajah Mada nampaknya mulai tahu apa yang akan disampaikan oleh Ken Wijaya, dan berkata “Kau ini tahu apa arti Bhayangkara? Kita ini bukan pasukan biasa yang dapat disamakan dengan pasukan lainnya. Tugas kita yang paling utama adalah mengamankan keselamatan raja! Kau tahu keadaan saat ini, bukan? Bagaimana bisa kau minta ijin, hah?! Ijin kemana maksudmu?!”. Suara Gajah Mada yanglantang itu menciutkan nyali Ken Wijaya. Tapi ia sudah membulatkan tekadnya, “Maaf Ki Bekel atas kelancangan saya. Saya mohon maaf, dan saya patut dihukum karenanya. Tapi saya mohon dengat segala kerendahan hati Ki Bekel. Saya mohon ijin sehari saja untuk pergi sebentar ke kotaraja. Ibu saya tinggal sendirian di sana. Saya terus memikirkan bagaimana keadaan beliau. Dan jujur saja, saya juga memikirkan bagaimana keadaan kekasih saya, yang juga sedang menjaga ibu saya. Saya....”

“Rupanya kau memang banyak waktu untuk berpikir. Rupanya bisa juga kau berpikir tentang orang lain. Bagus. Bagus sekali. Sangat bagus! Namun kenapa pikiranmu itu tidak sampai kepada bagaimana caranya kau bisa menjalankan tugas dengan baik?! Kenapa pikiranmu tidak bisa sampai kepada hal ini, bahwa nyawa raja saat ini sedang ada dalam keadaan yang genting?! Dimana pikiranmu itu, hah?! Katamu kau berpikir, namun perkataanmu itu seperti orang yang sedang limbung karena mabuk!! Kau ini sudah gila, pergi ke sarang musuh, membahayakan Gusti Prabu hanya karena kau ini anak cengeng yang rindu kepada ketiak ibunya!! Kau ini prajurit Bhayangkara, atau anak kemarin sore?! Jawab kata-kataku!!” Gajah Mada marah besar atas perkataan Ken Wijaya. Ken Wijaya sendiri semakin ciut nyalinya mendengar gertakan pemimpinnya itu. Sudah jelas jawaban yang diberikan Gajah Mada atas permintaannya. Gajah Mada hanya diam dan melihat dengan garang, menanti jawaban Ken Wijaya. Prajurit yang mengawalnya juga ikut tertegun, takut juga kepada kemarahan Gajah Mada. Agak lama suasana hening, dan Gajah Mada berucap “Kalau kau berani meninggalkan desa ini, kau kuanggap pemberontak. Kau kuanggap orang yang ingin membocorkan rahasia. Kau tentu tahu apa akibatnya.”

Jawaban akhir dari Gajah Mada jelas memupuskan kerinduan Ken Wijaya untuk bisa menjumpai ibu dan kekasihnya, Palasari. Hatinya hancur seketika ketika mendapat jawaban demikian dari pemimpinnya. Ia terdiam sebentar, lalu kembali memberi hormat, mundur untuk keluar dari regol. Gajah Mada hanya menatapnya dengan kegarangan yang tidak berkurang. Ketika Ken Wijaya sampai di depan regol, ia berkata “Maaf, Ki Bekel. Saya harus bertemu dengan ibu dan kekasih saya, dengan atau tanpa ijin dari Ki Bekel.” dan segera berlari sekuat tenaga hendak keluar dari desa tersebut. Gajah Mada segera memberi perintah kepada prajurit Bhayangkara yang ada di situ, “Ringkus pengkhianat itu!! Jangan biarkan dia lolos dari Bedander!!”. Dengan sekejap para prajurit yang berjaga segera bersiap dan mengejar Ken Wijaya yang berlari kencang menuju gerbang desa. Sepuluh orang mengejarnya dengan segera. Saat Ken Wijaya berusaha kabur, ia melewati dua sahabatnya, Kebo Suwita dan Ken Darma yang menatap dengan heran, “Ken Wijaya, ada apa ini? Ada apa ramai-ramai?!” namun Ken Wijaya tidak sempat membalas pertanyaan mereka. Mereka hanya bingung, kemudian dihampiri oleh seorang pasukan Bhayangkara yang lain, “Hei, ayo ikut kami! Kita diperintahkan untuk meringkus Ken Wijaya oleh Ki Bekel! Ken Wijaya bersikukuh pergi ke kotaraja, walau dilarang keras oleh Ki Bekel!”

“Astaga, Ken Wijaya nekad seperti itu?! Mau apa dia ke kotaraja dalam keadaan seperti ini” Kebo Suwita masih heran. Ken Darma menjawabnya, “Aku sering melihatnya murung di pos jaganya, sambil membawa sepucuk lontar, yang kalau tidak keliru kiriman dari kekasihnya. Apakah dia segila ini, meninggalkan tugas hanya untuk menemui kekasihnya di kotaraja?”

“Gila atau tidak itu urusan nanti, ayo segera kita kejar Ken Wijaya sebelum ia keluar dari desa ini!” sahut Kebo Suwita. Mereka bergegas bergabung dengan pasukan Bhayangkara yang lain untuk mengejar Ken Wijaya yang berusaha lari dari desa Bedander. Karena gerbang desa tidak ada yang menjaga, Ken Wijaya segera keluar dengan mudah menuju hutan yang ada di luar desa. Namun pasukan Bhayangkara yang lain tidak menyerah dalam mengejar Ken Wijaya. Mereka benar-benar prajurit yang terlatih, yang memiliki kemampuan fisik diatas rata-rata. Mereka turut mengejar Ken Wijaya yang sudah mulai masuk ke hutan yang cukup lebat itu.

Hari sudah semakin siang. Ken Wijaya sudah semakin lelah. Ia memanjat pohon beringin yang sangat lebat untuk bersembunyi. Dia berharap bisa bersembunyi sambil beristirahat. Kepayahan juga ia memanjat dan bersembunyi di antara lebatnya dedaunan pohon itu. Nafasnya terengah-engah. Perutnya mual bukan main, karena ia berusaha sekuat tenaga berlari dari desa hingga sampai ke hutan ini. Dan keadaan tubuhnya memang sedang tidak baik. Jadi walaupun ia seorang anggota pasukan Bhayangkara yang terkenal kuat, saat itu ia sedang dalam keadaan yang sangat lemah. Ia berusaha mengatur nafasnya, agar suaranya tidak menarik perhatian orang-orang yang mengejarnya. Sejenak ia mengingat dua wajah yang dirindukannya, dan bergumam “Ibu, Palasari, aku akan segera menjumpai kalian. Tunggulah aku”. Lamunannya kian kemana-mana, sampai tiba-tiba ada suara orang berteriak, “Hai Ken Wijaya, menyerahlah! Kau sudah dikepung! Kau tak mungkin lolos lagi! Kau sudah didakwa sebagai pengkhianat kesatuan Bhayangkara, dan juga pengkhianat Wilwatikta!”. Ternyata di sekeliling pohon sudah ada prajurit-prajurit Bhayangkara yang mengejarnya tadi. Mereka sudah menghunus pedang mereka, bahkan ada yang sudah membidiknya dengan panah. Ternyata sebelas dari duabelas orang yang mengejarnya sudah mengelilingi tempat persembunyiannya. Lemaslah Ken Wijaya, mengetahui bahwa ia tidak mungkin lolos lagi. Ia mengambil pedang di pinggangnya dan melemparnya, sebagai tanda menyerah. Ia turun dengan perlahan dari pohon beringin itu.

Para prajurit masih menodongkan pedang kepadanya. Di antara mereka, Ken Darma dan Kebo Suwita juga turut menghunus pedang mereka. Mereka masih tidak percaya, sahabat yang biasa berbagi suka duka dengan mereka, kini harus mereka sapa dengan pedang. “Ken Wijaya, apa yang merasuki dirimu? Kenapa kau sebodoh ini, Ken Wijaya?” Ken Darma mencoba mengajak Ken Wijaya berbicara. “Maafkan aku sahabatku, aku harus menjumpai orang-orang yang kusayangi. Rinduku tidak tertahan kepada mereka.” Ken Wijaya menyahut pertanyaan sahabatnya itu.

“Tetapi bukan demikian caranya! Kita ini prajurit. Kita ada dalam keadaan yang berbahaya, kita sedang menanggulangi pemberontakan! Tetapi kau sendiri kini membuat dirimu sebagai pemberontak, Ken Wijaya! Jika kau bersabar sebentar, kau tentu dapat bertemu dengan ibu dan kekasihmu! Kini, aku tidak berani mengetahui nasibmu yang selanjutnya. Maafkan aku, sahabatku. Maafkan aku, kini aku harus bertindak sebagai prajurit yang meringkus pemberontak, yaitu kau.” Mata Kebo Suwita mulai berkaca-kaca. Dia harus meringkus sahabatnya sendiri. Dan semua orang yang ada di hutan itu tahu apa yang akan terjadi dengan Ken Wijaya selanjutnya. Para prajurit segera meringkus Ken Wijaya.

Setelah beberapa waktu Gajah Mada datang. Ia dihubungi oleh salah seorang prajurit setelah persembunyian Ken Wijaya diketahui. Prajurit yang lain segera memberi hormat kepada pimpinannya. Ia diiring dengan beberapa prajurit lain dari desa. Ken Wijaya hanya termenung dalam ikatannya. Ia sudah bersiap menghadapi nasibnya. Gajah Mada berdiri di depan Ken Wijaya yang tertunduk lesu. Gajah Mada kemudian berbicara. “Prajurit Ken Wijaya. Kau sudah memberontak dari kesatuanmu. Lebih-lebih lagi, kau memberontak saat terjadi keadaaan gawat semacam ini. Seorang anggota Bhayangkara harus berada dekat dengan rajanya untuk menjaga keselamatan sang raja. Namun kau, demi alasan pribadi yang tidak jelas, melanggar ketetapan itu. Bahkan berani berusaha melarikan diri ke wilayah yang sedang dikuasai musuh dengan sembarangan. Kesembronoanmu ini bisa membuatmu membongkar persembunyian raja kepada musuh. Apa jawabmu sekarang?” Ken Wijaya hanya diam saja, dia masih membayangkan kedua orang yang dikasihinya. Dia hanya berpikir, “Palasari, aku mohon jagailah ibuku dengan baik. Maafkan aku tidak akan lagi berjumpa denganmu. Ibu, maafkan anakmu. Anakmu tidak bisa lagi menjumpaimu untuk selamanya. Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku....”. Dan segeraGajah Mada memberikan pernyataan, “Atas kesalahanmu yang berbahaya ini, kau dijatuhi hukuman mati!”

Bagai petir di siang bolong di telinga kedua sahabat Ken Wijaya, Kebo Suwita dan Ken Darma sangat terkejut. Mereka memang sudah tahu nasib yang akan menimpa sahabatnya ini. Namun tetap saja, putusan Gajah Mada membuat mereka terperanjat. Namun mereka hanya diam saja. Mereka hanya berusaha memendam duka yang mulai meliputi hati mereka, karena mereka kehilangan sahabat mereka. Tanpa sadar, dari kedua mata mereka mengalir air mata. Mereka benar-benar tidak bisa menahan kesedihan atas sahabat yang mereka kenal semenjak kecil. Yang sudah menjalani suka duka bersama. Yang sudah berjanji, bahwa mereka akan terus bersama menjalani tugas mereka sebagai prajurit, kecuali maut yang memisahkan mereka. Dan nampaknya maut akan mengambil sahabat mereka, Ken Wijaya.

Gajah Mada segera menghunus kerisnya. Bagaimanapun juga, yang ada di hadapannya adalah seorang prajurit Bhayangkara. Seorang pengkhianat biasanya akan dihukum penggal. Namun, Gajah Mada ingin memberikan kematian yang rapi bagi bekas anak buahnya ini. Ken Wijaya hanya bisa bertelut tertunduk. Ikatannya sudah dibuka. Gajah Mada masih berani mempercayai Ken Wijaya,walau baru saja ia berusaha kabur membelot dari perinyah Gajah Mada. Gajah Mada segera beralih ke belakang Ken Wijaya yang tetap bertelut. Ia mengambil sebuah kain putih, kemudian dia letakkan di pundak kiri Ken Wijaya. Kerisnya ia genggam semakin erat. Ia arahkan ke pundak kiri Ken Wijaya. Setelah hening sejenak, ia berucap, “Selamat tinggal, prajuritku.” Dan tangan kanannya yang menggenggam keris segera meluncur turun! Keris itu mendarat di pundak kiri Ken Wijaya, menembus kain putih dan melesak masuk hingga menembus jantungnya, mengakhiri cerita hidupnya seketika itu juga. Dan seketika itu juga Gajah Mada menarik keris itu dengan cepat sambil menahan kain putih itu dengan tangan kirinya. Keris itu tetap bersih. Tidak ada noda darah sedikitpun di bilahnya.

Ken Wijaya masih bertelut, walau darah mulai mengucur dari pundaknya. Darah itu mengucur juga ke dadanya, turun membasahi pinggangnya, dimana ia menyelipkan surat terakhir dari Palasari. Surat itu pun turut bersimbah darah, seakan turut merasa kehilangan Ken Wijaya. Ken Wijaya sudah tak bisa lagi merasakan apa-apa. Ia segera ambruk ke depan. Selesai sudah masa tugasnya. Selesai sudah persahabatannya dengan Kebo Suwita dan Ken Darma. Selesai sudah kisah cintanya dengan Palasari. Dan selesai sudah baktinya kepada ibunya. Ken Darma dan Kebo Suwita segera menyerbu jasad kawan mereka. Mereka menangisinya dengan sangat.

Beberapa bulan setelahnya, desa Bedander kembali kepada keadaannya yang semula. Ibu-ibu masih dijumpai menumbuk padi sambil berbincang. Anak-anak bermain-main dengan ceria. Penganyam bambu masih asyik menganyam keranjangnya. Petani-petani sedang bersiap menuju sawahnya. Sri Paduka Jayanegara telah kembali menduduki istananya. Gajah Mada mulai dikenal sebagai pahlawan, yang berhasil menumpas pemberontakan Ra Kuti dengan kerjasama para pejabat Wilwatikta lainnya. Mayasari kembali bekerja sebagai dayang di istana Wilwatikta. Beberapa orang yang setia diberi kenaikan pangkat, termasuk Gajah Mada sendiri. Kebo Suwita dan Ken Darma sendiri menjadi kepala pasukan. Namun ada satu hal juga yang berbeda di Bedander. Di makam desa, ada sebuah makam baru, yang hanya diberi nisan sebuah batu hitam. Di situlah Ken Wijaya bersemayam, di dalam mimpinya yang panjang. Walau tanpa Palasari, kekasihnya. Walau tanpa ibu yang sangat dicintainya. Ia tetap beristirahat, sebagai prajurit Bhayangkara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun