Djogdja Tempo Doeloe - BRANKAS KAYU TAHUN 1904
Saat mendengar istilah brankas, orang akan segera mengingat lemari besi. Memang, brankas yang kita kenal adalah jenis brankas yang menggunakan bahan dari besi dan memiliki kode untuk membukanya, sehingga tidak setiap orang –tanpa mengetahui kodenya— akan bisa membuka brankas. Rupanya ada brankas yang dibuat dari kayu nangka. Satu abad yang lalu, atau mungkin kalau hendak disebut dengan agak rinci, 104 tahun yang lalu, ada orang yang memiliki brankas, dan terbuat dari kayu. Brankas --mungkin bisa disebut sebagai tabungan (celengan, jw), atau pendeknya, tempat menyimpan uang-- itu sekarang disimpan di rumah Ribut Marsudi (76 th) di Dusun Bergan, Wijirejo, Pandak, Bantul. Sudah kelihatan lusuh. Maklum usianya sudah satu abad lebih. Tidak terawat secara baik. Kayu nangka yang berwarna kuning tidak lagi kelihatan. Ada bagian yang sudah dimakan rayap, meski hanya sedikit. Dulunya, di tahun 1904 atau bisa juga jauh sebelum tahun itu, brankas itu dipakai menyimpan uang oleh Ambyah Setraikrama. Ambyah lahir tahun 1825 dan meninggal tahun 1953. Kemungkinan, sebelum 1904 brankas kayu sudah ada. Ribut Sumardi adalah cucu dari Ambyah Setraikrama. Dulu, demikian Ribut Marsudi mengkisahkan, brankas itu oleh Ambyah dipakai untuk menyimpan uang, yang dulu dikenal dengan sebutan duit abang (uang merah) dan duit putih (uang putih). Uang merah adalah uang tembaga, yang terdiri dari benggol, sen, dan bribil. Uang putih terbuat dari nekel dan perak. Nekel nilainya sen, sedang perak terdiri dari ringgit, rupiah, sukon dan ketip. Tiap hari uang hasil kerja Ambyah disimpan di brankas kayu. Sampai tahun 1947, brankas itu penuh. Hampir 40 tahun lebih, Ambyah dengan sabar, tiap hari, sedikit demi sedikit menyimpan uang ke dalam brankas. Lubang yang ada di pojok brankas untuk memasukkan uang. Sedang lubang lain untuk memasukkan kayu dan mengikat dengan rantai, sehingga brankas menjadi tidak bisa dibuka, kecuali oleh Ambyah. Hasil dari uang yang ada di brankas, oleh Ambyah dipakai membeli gamelan satu pangkon slendro, yang terbuat dari perunggu. Untuk nilai uang sekarang, gamelan perunggu harganya puluhan juta rupiah. Setelah Ambyah meninggal, brankas tersebut oleh anaknya, Tukijan Sastroarjo namanya, tidak dipakai tempat untuk menyimpan uang. Tetapi oleh Tukijan dialihfungsikan sebagai lesung untuk menumbuk padi. Jadi, pada generasi kedua, brankas tersebut sudah beralih fungsi. Dan Ribut Marsudi adalah anak dari Tukijan Sastroarjo. Awalnya, ia juga meneruskan tradisi ayahnya: menggunakan brankas sebagai lesung. Tetapi sekarang, brankas/lesung tidak difungsikan sebagai piranti petani. Oleh Ribut Sumardi hanya disimpan sebagai benda bersejarah, yang akan kembali dihaluskan supaya warna kayu nangkanya kelihatan. Brankas itu sekarang ditaruh di bawah pohon melinjo. Terkesan lusuh memang. Namun dalam kelusuhan itu tersimpan sejarah. Ons Untoro diambil dari TEMPO DOELOE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H