Mungkin judul ini dirasa kurang pas, karena banyaknya masyarakat yang menjerit karena harga cabai mahal dan tak terbeli. Bayangkan saja, beli cabai Rp 3000 cuma dapat 6 biji.
akan tetapi, keluarga kami ( orang tua, nenek, bulek dan tetangga ) merasakan nikmatnya jadi petani cabai disaat seperti ini. Kami mulai panen menjelang hari raya idul adha, waktu itu harga cabai Rp 5000 per kilo. Agak gamang waktu mau memanen karena harga murah, saya menyampaikan ke orang tua, seberapapun murahnya, cabai harus dipanen, sebagai rasa syukur atas panen, siapa tahu kelak harganya naik. Jadi waktu itu selepas sholat idul adha, pergi ke sawah untuk panen cabai. Waktu itu dapat 25 kilo, dan per kilo nya Rp 4500, turun 500 dari sebelum lebaran.
lambat laun harga cabai mulai merangkak naik, sampai sekarang harga cabai di petani Rp 72.000 ( daerah prambanan, klaten ). Biasanya cabai dipanen setiap sepasar sekali ( 5 hari sekali ). Dengan harga yang cukup fantastis ini ( harga tertinggi cabai rawit di petani sempat menyentuh Rp 82.500 ), hasil panen memang berkurang. Yang biasanya kami panen dapat 30 - 40 kg, dalam sebulan ini panen dikisaran 10 - 20 kg, alhamdulillah.
dari hasil panen yang demikian ini, orang tua bisa beli"sesuatu", bulek bisa beli motor dan nenek bisa beli perhiasan emas. Baru kali ini kami merasakan nikmat pedasnya cabai rawit.
Dan karena panen demikian, biasanya di desa ada budaya " wiwit" atau istilahnya sesajen sawah dengan menyembelih ayam ( kalau harga cabai murah, biasanya hanya beli daging babat sedikit ) lalu dibagikan ke tetangga. Maklum budaya seperti ini belum bisa di hilangkan di desa kami.
demikian tulisan saya, yang ibu ibu jangan ngomel ya..hehehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H