Para orangtua yang membiarkan anak-anaknya untuk mengeksplorasi diri dan dunia mimpinya adalah awal perubahan dan kemajuan sebuah bangsa. Tentu setiap anak yang tumbuh dewasa, dibekali dengan anugerah untuk membaca perilaku alam dan menganalisa lingkungan di mana ia tinggal. Dan anak muda Rangkasbitung yang hebat, senantiasa mampu untuk keluar dari cangkang yang menyembunyikan sejuta karya abadinya. Keluar dari balik rahim ibunya, bebas dari selimut rasa nyaman, tidak lagi dibedong, digendong, dipapah, dan dituntun. Mereka berdiri, berjalan, dan berlari di atas kaki sendiri, bukan bersembunyi di balik ketiak orangtuanya.
Tetapi tidak sedikit anggapan miring tentang anak muda Rangkasbitung, khususnya anak muda  yang orangtuanya bersikukuh untuk mempertahankan status quo. Status kebangsawanan, yang mencirikan bahwa dialah sang penguasa dan pemenang diantara pesaing dan lawan tandingnya.
Konon semakin orangtua kaya dan berkuasa, semakin ia dibelenggu dan dikekang ruang geraknya dalam berkarya dan mengolah pikir. Dalam hal apapun, pendidikan, pekerjaan, bahkan pasangan hidup. Kita ambil satu contoh, dalam hal pendidikan saja, akibat yang ditimbulkan akan sangat berpengaruh besar pada masa depannya di kemudian hari.
Meskipun lulusan perguruan tinggi negeri dengan IPK 4,0 tapi pergaulannya kurang, mingle dan menjaga jarak dengan teman sekantor, merasa paling berharga dan terhormat, sudah dapat dipastikan, tipikal anak muda seperti ini tidak akan jauh dari kata malas dan menjadi anak muda gagal. Dapat dibayangkan, apabila ia memimpin sebuah komunitas atau lembaga pemerintahan di kabupaten ini. Apa yang akan terjadi?Â
Phobia akan masa depan anak, acapkali menjadi membuat orangtua terjebak pada sebuah paradigma yang keliru, akibatnya sang anak lumpuh daya nalarnya, gagal moral perilakunya, dan bermental penumpang. Anak dipasung jiwa sosialnya, bahkan yang lebih parah di masa depan produk anak muda seperti ini hanya akan menjadi benalu dalam sebuah organisasi. Orangtua hanya memikirkan, kebutuhan anak dalam hal materi, dan mengesampingkan nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Sebagai contoh, dalam lingkungan rumah tangga modern saat ini, sang ayah bekerja dari Subuh hingga menjelang petang mencari materi untuk bekal memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sang ibu juga tidak mau kalah, alih-alih dengan mengatasnamakan "emansipasi wanita", mereka ikut bekerja dengan jam kerja hampir sama bahkan lebih lama daripada jam kerja pria.
Apalagi kalau bukan materi yang dicari. Kemudian pertanyaannya, siapakah yang bertugas mendidik, mengajarkan dan membesarkan seorang anak ? Babysitter? Pengasuh anak? Atau jasa penitipan anak? Memang, babysitter dan pengasuh anak adalah seorang ibu atau calon ibu, tapi perlu diingat, kehadiran seorang ibu yang nyata merupakan sebuah keharusan.
Pelukan seorang ibu tidak akan tergantikan oleh siapapun, bahkan seorang ayah kandung, tidak akan bisa menjadi seorang ibu kandung. Â Pendidikan dasar seorang anak ada di dalam rumah, bukan sekolah, madrasah, maupun ibtidaiyah. Kedua orangtua berperan sebagai privat teacher bagi anak, mengajarkan banyak hal termasuk, organisasi, kedisiplinan, intelektual, sosial, budaya, perilaku nalar, dan intuisi dasar. Hal semacam inilah yang tidak akan ditemukan dalam pendidikan konvensional negeri ini.Â
Anak muda Rangkasbitung, dalam kapasitasnya sebagai generasi penerus, diharapkan mampu bersaing dalam kancah nasional. Bukan untuk menafikkannya, banyak tokoh-tokoh nasional lahir dan besar di Rangkasbitung. Lahir dari sebuah kondisi lingkungan tropis Jawa bagian barat yang kini bernama Banten. Taufikurachman Ruki mantan orang nomor satu di KPK, Miing yang pernah menjabat anggota DPR RI, Eros Djarot budayawan sekaligus sutradara terbaik di film Tjoet Nyak Dien, Van Halen anak dari seorang ibu kelahiran Rangkasbitung.
Semuanya besar dan tumbuh dalam atmosfer budaya pasundan wiwitan yang sangat kental. Boleh jadi, anak muda Rangkasbitung saat ini adalah reinkarnasi dari jiwa-jiwa seorang Multatuli, yang mendobrak sisi gelap sebuah tirani kotor dan berbau keserakahan. Berani tampil di depan, memutus rantai dinasti kepemimpinan yang mengatasnamakan rakyat demi sebuah kesejahteraan semu. Membongkar praktik sekuler dan monopoli. Menghapus kolusi dan nepotisme dari tanah Banten.
Sebuah riset mengejutkan yang baru-baru ini dirilis oleh KPK, mengatakan bahwa provinsi Banten bercokol di posisi ketiga setelah provinsi Sumatera Utara dan Riau sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Ada apa dengan Banten? Setelah hampir 15 tahun menjadi daerah otonom sendiri. Kini provinsi termuda di pulau Jawa itu menyandang status provinsi korup.