Untuk migrasi ke TV digital, seharusnya 10 TV swasta nasional itu diberi satu slot frekuensi untuk digunakan siaran digital secara bersama-sama. Demikian juga dengan TV lokal, cukup diberi satu slot frekuensi agar bisa digunakan untuk siaran digital secara bersama-sama. Tapi dengan syarat, TV lokal itu harus membentuk sebuah konsorsium yang beranggotakan (minimal) 10 content provider.
Selanjutnya slot-slot frekuensi sisanya barulah dilelang oleh pemerintah. Itupun juga dengan syarat: mereka yang mengajukan izin haruslah sebuah konsorsium yang terdiri dari (minimal) 10 content provider. Tujuannya adalah agar setiap kali muncul satu pemancar TV digital maka pada saat itu juga sudah ada 10 content berbeda yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian tujuan utama migrasi TV digital, yaitu efisiensi pendudukan spektrum frekuensi, dapat tercapai.
Dengan adanya model konsorsium seperti itu maka masalah besarnya tarif sewa frekuensi, sewa pemancar, mux, beaya operasional dan lain-lain sudah selesai dengan sendirinya, karena sudah dibahas secara internal oleh semua anggota konsorsium pada saat akan mengajukan izin.
LATAR BELAKANG
Bagaimana seandainya siaran TV analog yang sudah sekian lama beroperasi tiba-tiba semuanya dimatikan? Pastilah puluhan juta orang Indonesia akan kehilangan tontonan, kehilangan informasi dan kehilangan hiburan. Tidak hanya itu, operator TV pasti juga akan gulung tikar dan karyawannya akan di-PHK semua.
Oleh karena itu sebelum semua siaran TV analog dimatikan, dan kemudian diganti dengan siaran TV digital, diperlukan masa transisi. Siaran TV analog dan digital ini haruslah disiarkan secara bersama-sama (simulcast) sehingga hal-hal buruk itu dapat dihindari. Nah, dalam masa transisi inilah TV digital diperkenalkan; apa itu TV digital, seperti apa perangkatnya, apa saja kelebihannya dan lain sebagainya.
Uji coba siaran TV digital sudah dilakukan di Indonesia sejak awal tahun 2009 oleh sebuah konsorsium yang beranggotakan: SCTV, ANTV, TV-One, Trans-TV, TV-7 dan Metro TV. Selain itu pemerintah juga menurunkan konsorsium yang terdiri dari PT.Telkom dan TVRI. Uji coba ini kemudian dinyatakan berhasil dan sampai sekarang TVRI sudah menyelenggarakan siaran digitalnya di berbagai daerah.
Atas keberhasilan itu Depkominfo kemudian mengadakan seleksi pemberian izin siaran TV digital menggunakan dasar hukum Permen Kominfo No.22 tahun 2011. Setelah 33 operator dinyatakan lolos seleksi, maka siaran TV digital digelar oleh para operator TV digital itu yang kesemuanya adalah operator-operator TV dari Jakarta.
Berhubung TV lokal dan TV berjaringan merasa disingkirkan, maka dasar hukum penyelenggaraan siaran TV digital ini ditentang oleh ATVJI (Asosiasi TV berjaringan Indonesia) dengan jalan mengajukan uji materi ke MA. Kemudian pada tanggal 03 April 2013 melalui putusannya dengan nomer perkara 38 P/HUM/2012 MA membatalkan Permen itu. Lalu dua tahun kemudian tepatnya pada tanggal 05 Maret 2015 PTUN membatalkan Permen itu karena bertentangan dengan UU Penyiaran.
Selaku tergugat, Depkominfo melakukan banding. Tapi pada tanggal 26 Sept 2015 dinyatakan kalah, dan kini sedang mengajukan kasasi. Dengan demikian penyelenggarana siaran TV digital menjadi terkatung-katung lantaran tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
Sebetulnya TV lokal maupun TV berjaringan sama sekali tidak keberatan atas penerapan teknologi siaran digital itu. Tapi yang menjadi masalah adalah dasar hukum yang digunakan itu sama sekali tidak mengadopsi kepentingan mereka, sehingga TV lokal merasa seperti anak tiri yang diusir dari rumahnya sendiri. Sebab mereka tidak diizinkan melakukan siaran (digital) sendiri dan malah diwajibkan untuk menyewanya dari operator TV Jakarta. Bahkan besarnya uang sewa itu pun tidak jelas dasar perhitungannya seperti apa.