Mohon tunggu...
Dwi Ananto Widjojo
Dwi Ananto Widjojo Mohon Tunggu... Insinyur - Broadcast Television Engineer

Broadcast Television Engineer

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Siaran TV Harus Digital?

17 Januari 2016   09:20 Diperbarui: 29 Januari 2016   22:45 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah symposium yang diselenggarakan di Genewa pada tanggal 17 Juni 2006, ITU (International Telecommunication Union) membuat sebuah keputusan yang sangat penting tentang siaran televisi, yaitu siaran TV analog di seluruh dunia akan dihentikan pada tanggal 17 Juni 2015 dan kemudian digantikan dengan siaran TV digital.

Mengapa harus diganti digital? Apakah siaran TV analog tidak bagus?

Benar bahwa sudah lebih dari 60 tahun pemancar TV analog telah membuktikan kinerjanya yang sangat baik. Namun ketika teknologi digital telah memperlihatkan keunggulannya, pemancar TV analog itu memang sudah selayaknya diganti.

Alasan paling utama penggantian ini adalah: demi efisiensi atas pendudukan spektrum frekuensi radio. Sebab frekuensi radio adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, sehingga keberadaannya haruslah dimanfaatkan se-efisien mungkin. Nah satu-satunya cara yang mampu melakukan efisiensi pemakaian spektrum frekuensi radio ini adalah teknologi digital. Dengan teknologi digital, satu slot frekuensi yang semula hanya bisa digunakan untuk menyiarkan satu program siaran TV analog, kini bisa digunakan untuk menyiarkan 12 program televisi secara bersamaan.

Bahwa kualitas siaran TV digital itu lebih bagus, bisa HDTV, lebih hemat energi dan lain sebagainya, hanyalah efek lain dari teknologi digital itu. Namun inti dari migrasi ke siaran TV digital adalah demi efisiensi pemakaian frekuensi.

Bagi orang awam, logika ini akan lebih mudah dipahami dengan menggunakan analogi kasus tanah di kota-kota besar. Bahwa tanah adalah sumber daya alam yang terbatas dan tak bisa diperbarui. Itulah sebabnya harga tanah di kota besar menjadi sangat mahal, karena banyaknya permintaan atas kepemilikan tanah itu. Maka dibuatlah gedung-gedung bertingkat, sehingga sebidang tanah yang semula hanya bisa digunakan untuk satu rumah saja menjadi bisa digunakan untuk sekian banyak rumah. Inilah solusi atas mahalnya harga tanah di kota-kota besar.

Jika rebutan tanah itu dapat diselesaikan dengan teknologi gedung bertingkat, maka senada dengan itu rebutan spektrum frekuensi radio dapat diselesaikan dengan teknologi digital. Sebab banyak pihak yang ingin dan mampu menyelenggarakan siaran TV namun tidak bisa mendapatkan izin siaran. Bukan karena Pemerintah tidak mau memberikan izin, tatapi karena slot frekuensinya memang sudah tidak tersedia lagi (terbatas).

Jadi teknologi digital mampu memberikan solusi atas keterbatasan frekuensi, sehingga migrasi ke arah TV digital adalah sebuah keniscayaan. Namun implementasinya di lapangan rupanya tidak sesederhana itu. Banyak persoalan teknis maupun non-teknis yang harus dihadapi oleh pemerintah maupun operator siaran TV itu sendiri.

Salah satu persoalan teknis itu adalah bahwa pesawat penerima TV biasa (analog) tidak bisa menerima siaran TV digital. Hanya dengan alat bantu yang disebut dengan set top box, pesawat TV biasa (analog) bisa digunakan untuk menerima siaran TV digital. Oleh karena itu migrasi siaran TV digital hanya dapat berjalan lancar bila harga set top box sudah sedemikian murah, atau adanya subsidi. Saat ini harga set top box berkisar antara 300 s/d 500 ribu rupiah. Sementara ada sekitar 40 juta lebih pesawat penerima televisi analog yang membutuhkan set top box ketika siaran TV digital sudah mulai diberlakukan.

Persoalan yang kedua adalah satu pemancar TV digital mampu digunakan untuk menyiarkan 12 program sekaligus. Lalu siapa yang berhak mengoperasikan pemancar digital itu dan siapa yang berhak mengisi ke 12 program siarannya? Lalu bagaimana mekanisme pengaturannya?

Persoalan yang ketiga adalah: bagaimana status TV lokal? Bisakah mereka menjadi operator TV digital di wilayahnya masing-masing? Ataukah mereka terpaksa (atau dipaksa) untuk menjadi pengisi program saja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun